Narkoba Dan Kehancuran Kedaulatan NKRI Dibahas Dalam Diskusi Empat Pilar MPR
Narkotika dan obat/bahan berbahaya (Narkoba) sudah menjadi momok mengkawatirkan di Indonesia sebab efek buruk penyalahgunaan narkoba sangat menghancur
Editor: Content Writer
Narkotika dan obat/bahan berbahaya (Narkoba) sudah menjadi momok mengkawatirkan di Indonesia sebab efek buruk penyalahgunaan narkoba sangat menghancurkan pribadi, masa depan dan lingkungan. Yang paling mengerikan adalah sebagian besar korban narkoba adalah generasi muda bangsa dengan masa depan cerah.
Di berbagai ranah diskusi sampai obrolan warung kopi, narkoba selalu menjadi pembahasan seru dan dijadikan stempel ‘horor’ serta kengerian yang selalu membayangi generasi muda bangsa yang tak kunjung bisa dipadamkan. Bahkan kengerian narkoba tidak hanya dialami Indonesia , negara-negara di belahan dunia lainnyapun mengalami hal yang sama.
Walaupun aparat penegak hukum sering melibas pengguna, distributor serta bandar narkoba, sepertinya kejahatan narkoba ini licin seperti belut. Sudah tak terhitung masyarakat umum, anak-anak muda, oknum artis, oknum pejabat yang menjadi pesakitan karena kasus narkoba. Yang teranyar dan menjadi viral adalah terciduknya seorang politisi petinggi parpol karena kasus narkoba.
Sedemikian mengkhawatirkannya permasalahan narkoba di Indonesia, sampai sebagian besar pihak menyebut bahwa narkoba adalah the real radicalism, narkoba adalah salah satu elemen radikalisme yang harus diperangi.
Bahkan Presiden RI Joko Widodo pada tahun 2015 lalu menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam status darurat narkoba. Dampak negatif Narkoba, katanya sudah sangat merasuk ke lingkungan anak-anak muda. Oleh karena itu tidak ada maaf bagi pelaku narkoba di Indonesia.
Wacana tersebut menjadi pembahasan seru dengan tema sentral ‘Narkoba dan Kehancuran Kedaulatan NKRI’ dalam ‘Diskusi Empat Pilar MPR RI’, diskusi rutin yang diselenggarakan atas kerjasama Biro Humas Setjen MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang dihadiri para awak media massa cetak, elektronik dan online, di Media Centre Parlemen, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (8/3/2019), dengan menampilkan tiga narasumber, anggota Fraksi Nasdem MPR RI Taufiqulhadi, anggota Fraksi PDIP MPR RI Henry Yosodiningrat dan mantan Kabag Humas BNN Kombes Pol. Sulistiandriatmoko.
Dalam pemaparannya awalnya, Henry Yosodiningrat mengungkapkan rasa gundahnya akan makin luasnya pelaku-pelaku kejahatan narkoba, bahkan lebih miris lagi dilakukan oleh oknum politisi dan petinggi parpol. Apapun alasannya, Henry menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah pelaku kriminal karena melanggar Pasal 127 ayat (1) UU Tentang Narkotika.
Di masyarakat, lanjut Henry, berseliweran pemahaman bahwa dalam kasus narkoba muncul dua hal yang selalu menjadi pertanyaan besar publik yakni pelaku kejahatan dan korban narkoba. Dua hal ini selalu menjadi perdebatan, apa parameternya pengguna narkoba menjadi pelaku kejahatan atau menjadi korban.
“Dua hal ini harus dipahami dengan benar. Kalau pelaku seorang dewasa, sehat, sadar bahkan berintelektual lalu menyalahgunakan narkoba itulah pelaku kejahatan harus dihukum berat. Tapi, kalau pelaku itu masih anak-anak atau remaja, bisa dipaksa, dirayu untuk mengkonsumsi narkoba sampai mengalami ketergantungan itulah korban narkoba, itulah yang harus direhab,” terangnya.
Intinya, Henry menegaskan, kejahatan narkoba adalah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh sindikat terorganisir dengan tujuan untuk menghancurkan bangsa Indonesia dengan cara yang sistematis yakni dengan cara pembusukan kepada generasi muda bangsa menggunakan narkoba.
Seluruh elemen bangsa harus secara proaktif dan sistematis melawan bahaya narkoba ini untuk menyelamatkan generasi milenial Indonesia dari kehancuran akibat narkoba.
Dalam kesempatan yang sama, Sulistiandriatmoko mengatakan bahwa kejahatan narkoba memang sudah diakui sangat merusak bahkan dalam tataran tinggi yakni bangsa melalui kerusakan generasi muda. Menurut survey BNN tahun 2017 lebih dari tiga juta orang potensi pengguna narkoba di Indonesia.
Jumlah tersebut sangat besar. Potensi yang besar tersebut akan semakin memancing para penyuplai narkoba dengan segala cara memasukkan barang haram tersebut ke Indonesia. Untuk itulah, berbagai pernyataan soal perlunya memberantas narkoba, menurut Sulis jangan hanya ditataran retorika tapi harus masuk pada tataran konkretisasi serius.
“Kita tahu bahwa kondisi darurat adalah kondisi emergency harus segera ditangani, Darurat narkoba juga sama harus segera diselesaikan dengan tepat dan cepat. Tentu didukung dengan anggaran khusus serta satgas khusus yang mampu menyelesaikan itu, dna juga diberikan tenggang waktu khusus untuk merampungkan itu semua dengan cara dan metoda yang khusus pula. Hal ini sama seperti terjadi kasus darurat bencana alam, semua penanganannya khusus. Harus seperti itu untuk menghadapi darurat narkoba. Dan upaya tersebut akan berhasil dengan gemilang dengan sinergitas pihak-pihak terkait dan seluruh elemen bangsa,” ungkapnya.
Berbicara soal narkoba, Taufiqulhadi mengutarakan bahwa penanganan kasus narkoba baik itu penegakan hukum yang keras dan rehabilitasi sama-sama penting. Hal ini berkaitan erat dengan klasifikasi kasus narkoba yakni pengguna narkoba dan pengedar narkoba. Pengguna juga diklasifikasikan menjadi dua lagi yakni pengguna dengan kesengajaan dan pengguna karena menjadi korban.
“Namun dalam mata hukum semua adalah kejahatan dan harus dihukum masuk penjara. Nah, ini yang penting, ketika dipenjara jangan sampai penyalahgunaan narkoba kembali terjadi. Lingkaran kejahatan tersebut mesti dihentikan. Tapi, karena baik pengguna, korban, dan bandar dijadikan satu baik secara hukum dan penempatan di penjara, upaya penanganan kasus narkoba menjadi lebih berat,” ujarnya.
Taufiq berharap agar ada pemisahan atau perbedaan antara pengguna, korban dan bandar. Hukuman keras untuk bandar-bandar dan hukum rehabilitasi baik untuk pengguna sengaja atau korban narkoba. Hal ini tentu berkaitan erat dengan UU Narkotika.
“Saat ini hukum positif dan sosial di masyarakat sangat menyudutkan pengguna narkoba terutama korban narkoba. Keluarga yang ingin melaporkan anaknya untuk direhab karena korban narkoba menjadi takut ancaman hukuman keras dan hukuman sosial di masyarakat. Untuk itu masyarakat juga sangat kita himbau untuk menempatkan kasus narkoba secara tepat dan bijak. Intinya kalau memang pengedar, memang harus disikapi dengan hukum sekeras-kerasnya, tapai kalau pengguna apalagi korban harus disikapi berbeda yakni dengan rehabilitasi,” tandasnya. (*)