HNW: Pencabutan Klaster Pendidikan Bukti RUU Ciptaker Bermasalah
Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi langkah Pemerintah dan aleg DPR RI yang mencabut klaster pendidikan dari RUU Ciptaker.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi langkah Pemerintah dan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) yang mencabut klaster pendidikan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, pemerintah dan Baleg juga menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan. Langkah bersama Baleg dan pemerintah ini menurut Hidayat sesuatu yang baik, karena mau mendengar aspirasi publik.
“Semua itu membuktikan bahwa penyusunan dan materi Omnibus Law RUU Ciptaker banyak mengandung masalah. Karena itu sebaiknya pembahasan RUU itu dihentikan saja, agar tidak menghadirkan masalah-masalah lain yang lebih serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kemudian hari,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (25/9).
HNW menunjukan sejumlah ketentuan dalam Klaster Pendidikan RUU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang bermasalah.
“Nuansa pengaturannya sangat kentara sekali bernuansa liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan, yang tidak sesuai dengan cita-cita Indonesia Merdeka, dan amanat UUD NRI 1945,” ujarnya.
Hidayat menambahkan, konsep pengelolaan pendidikan dengan liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi dalam RUU Ciptaker itu menuai banyak kritik baik dari anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS, maupun ormas dan organisasi pendidikan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
“Alhamdulillah dan terima kasih, kritik dan masukan masyarakat untuk mencabut klaster pendidikan dari RUU Ciptaker ini, akhirnya didengarkan dan dikabulkan,” tambahnya.
HNW mengungkapkan, penarikan klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker itu memang seharusnya dilakukan. Apalagi RUU itu telah menghadirkan kegaduhan, jika dikaji dari sisi pendidikan keagamaan (Islam). Karena di sana ada nuansa sekulerisasi, liberalisasi, dan materialisme yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945.
Misalnya, klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker itu menghapus keberadaan dan peran lembaga “Raudhatul Athfal”, lembaga pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Pencabutan itu diatur dalam Pasal 28 ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, beberapa ketentuannya juga berbau pasal karet yang bisa membahayakan lembaga pendidikan keagamaan dan pengelolanya, seperti madrasah dan pesantren.
Apabila merujuk kepada UU, kata Hidayat maka baik madrasah maupun pesantren itu termasuk dalam kategori lembaga pendidikan formal maupun non formal. Masalahnya, klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker, yakni Pasal 71 dan Pasal 62 ayat (1), bermuatan pengaturan pasal karet yang bisa mengancam sanksi hukum pidana dan denda bagi penyelenggara lembaga pendidikan formal dan non formal, termasuk pesantren dan madrasah.
“Padahal pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal atau non formal, diatur dalam UU yang bersifat lex specialis, yaitu UU Pesantren, yang sama sekali tidak mengatur hukuman pidana atau denda. Jadi wajar, jika banyak Pesantren dan Madrasah yang resah akibat adanya pasal karet itu. Karena pasal tersebut, potensial jadi ancaman sanksi pidana maupun denda itu terhadap mereka,” ujarnya.
Pencabutan terhadap klaster pendidikan dari RUU Ciptaker ini, kata Hidayat, berarti aturan soal pendidikan dan pendidikan agama kembali kepada aturan dan UU semula, yang terbukti lebih baik dan lebih sesuai semangat reformasi dan konstitusi.
“Dengan demikian, bisa tenteramlah lembaga pendidikan agama dan penyelenggaranya (yakni para kiyai dan ustadz) dari kemungkinan tersasar ancaman sanksi, akibat adanya pasal karet itu,” ujarnya.
Meski begitu, HNW menilai pencabutan klaster pendidikan dan penundaan klaster ketenagakerjaan dari RUU Ciptaker belum menjawab masalah utama dan belum cukup mengakomodasi desakan kelompok atau organisasi kemasyarakatan selaku stakeholders dari bangsa ini.