HNW Desak Solusi Berkeadilan Terkait Pelayanan Karantina
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menjelaskan, banyak keluhan dari warga yang menilai Pemerintah tidak berlaku adil dan tidak siap melaksanakan tekni
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR Daerah Pemilihan Jakarta II meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri, Dr. Hidayat Nur Wahid MA, prihatin dengan pelayanan karantina bagi Warga Negara Indonesia yang datang dari luar negeri. Apalagi bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sering disebut sebagai Pahlawan Devisa. Pada saat bersamaan ada pihak-pihak yang justru bisa berkelit dan tidak harus dikarantinakan sebagaimana mestinya. Padahal, mereka juga potensial membawa virus covid-19 varian Omicron.
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menjelaskan, banyak keluhan dari warga yang menilai Pemerintah tidak berlaku adil dan tidak siap melaksanakan teknis pengarantinaan bagi warga dari Luar Negeri yang akan masuk ke Indonesia. Pada salah satu kasus, teknis pengarantinaan membuat antrean panjang dan lama dengan masa tunggu 8-9 jam di Bandara hingga bisa masuk ke fasilitas karantina yang disediakan Pemerintah. Bahkan, pada kasus terbaru Sabtu (18/12/2021) banyak PMI yang pulang ke tanah air harus terlantar sampai 15 jam di Bandara Soetta, Tangerang, sebelum ditempatkan di lokasi karantina.
“Saya sepakat diperlukan kehati-hatian ekstra untuk mencegah penyebaran varian omicron, ke Indonesia. Namun kebijakan karantina itu harus diberlakukan dengan manusiawi dan adil,” ujar Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (21/12/2021).
HNW mengaku sulit membayangkan, misalnya, operasionalisasi rencana Pemerintah agar PMI bukan hanya turun di Bandara Soetta, melainkan juga di Bandara Juanda, karena penerbangan internasional yang membawa PMI pada umumnya mendarat di Soetta dan bukan di Juanda. Sehingga yang diperlukan adalah persiapan yang lebih baik, petugas yang lebih terampil, dan tempat-tempat untuk karantina yang lebih banyak di sekitar Bandara Soetta (Jakarta). Perlu juga pendekatan keadilan, untuk WNI yang kembali ke Indonesia setelah bisnis atau pelesiran, tentu wajar bila dikenakan karantina berbayar. Tapi bagi WNI yang pulang ke Indonesia sebagai PMI, Pelajar/Mahasiswa yang akan banyak pulang ke Indonesia pada akhir Tahun, Utusan Negara untuk olahraga, pulang dari hadiri undangan seminar, pulang dari perjalanan spiritual (ibadah umrah hingga ziarah ke betlehem), mestinya tidak dikenakan pembiayaan untuk karantinanya. Alias negara memberikan fasilitas karantina gratis. Untuk para Pejabat Negara maupun Tamu-tamu VIP sebaiknya tetap diberlakukan beberapa ketentuan karantina secara adil dan proporsional dengan tetap memastikan bahwa mereka tidak menjadi faktor penyebaran pandemi covid-19 dengan varian barunya.
“Bila terjadinya penumpukan PMI kemarin karena faktor anggaran yang tidak memadai, perlu juga diberikan tambahan anggaran yang bisa dipertanggungjawabkan, agar tidak kembali menimbulkan penumpukan warga yang datang dari Luar Negeri, dan justru berpotensi menjadi klaster penyebaran virus covid-19 dengan varian lama maupun baru,” lanjutnya.
Hidayat yang juga Anggota DPR-RI Komisi VIII, mitra BNPB ini menjelaskan, dalam rapat kerja terakhir Komisi VIII dengan BNPB (13/12/2021), sudah disepakati agar Kepala BNPB menjelaskan secara ilmiah dan transparan kepada masyarakat terkait kebijakan karantina bagi WNI yang baru pulang dari luar negeri. Termasuk besaran biayanya apabila melakukan karantina mandiri. Agar Negara tidak membiarkan terjadinya mafia perhotelan untuk pemberlakuan karantina yang sangat memberatkan para Warga Indonesia sepulang mereka dari LN. Kepastian hadirnya Negara dalam melindungi warganya sangat diperlukan agar tidak meresahkan dan membingungkan WNI yang akan pulang ke Indonesia. Karena kebijakan karantina bisa berubah tiba-tiba tanpa penjelasan yang memadai. Misalnya dalam SE Satgas Covid-19 Nomor 23 Tahun 2021 yang dikeluarkan pada 29 November 2021, periode karantina adalah 7 hari, namun pada SE 25/2021 yang dikeluarkan 2 minggu kemudian (14 Desember 2021), kebijakan periode karantina berubah menjadi 10 hari.
“Kepala BNPB sudah mendengar masukan anggota Komisi VIII DPR terkait transparansi kebijakan karantina, mekanisme pelayanan kedatangan, wakesiapan fasilitas karantina, hingga karantina yang efektif mencegah penyebaran covid-19 yang tidak memberatkan Warga. Juga prinsip perlindungan dan keadilan yang juga harus ditegakkan. Kami berharap implementasinya segera terlihat di lapangan dengan tidak ada lagi penumpukan antrean PMI/WNI dari luar negeri, dan tidak terjadi mafia terkait karantina dengan waktunya yang lama dan harganya yang mahal. Bahkan agar para Mahasiswa/pelajar, duta-duta bangsa dan Negara dalam berbagai event internasional, juga PMI, bisa dipermudah dan diberikan fasilitas karantina gratis tapi berkualitas. Jangan sampai pahlawan devisa itu merasakan perlakuan diskriminatif dan tidak adil, ketika petugas justru sangat melayani, berlaku longgar dan tidak menyulitkan Tenaga Kerja Asing (TKA),” ujarnya.
Hidayat menilai, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih bisa mengalokasikan anggaran tambahan untuk meningkatkan kinerja di bidang pelayanan kekarantinaan tersebut. Pasalnya hingga akhir Oktober 2021, anggaran kesehatan baru terealisasi sebesar Rp 202 Triliun dari total outlook 2021 sebesar Rp 326,4 Triliun. Artinya masih tersedia alokasi anggaran kesehatan sekitar Rp 124 Triliun yang harus direalisasikan dalam kurun waktu dua bulan. Hidayat mendorong agar sebagian anggaran tersebut dialokasikan kepada BNPB sebagai Satgas Covid-19, yang diperuntukkan untuk operasional fasilitas karantina pelaku perjalanan luar negeri, dengan meningkatkan kualitasnya dan menambahkan jumlah lokasinya. Misalnya, berdasarkan laporan BNPB ke Komisi VIII (3/6/2021), untuk operasional Wisma Atlet selama 6 bulan dibutuhkan anggaran sekitar Rp 345 Miliar. Adapun untuk lokasi yang lebih kecil seperti Rusun Pasar Rumput tentu biaya operasionalnya juga lebih rendah. Dirinya memprediksi pembukaan lokasi karantina secara masif di seluruh kota kedatangan WNI pelaku perjalanan luar negeri hanya akan membutuhkan biaya sekitar RP 1-2 Triliun.
“Alokasi anggaran kesehatan yang masih tersisa sangat besar untuk tahun 2021 jangan sampai dibiarkan tidak terealisasi. Mengingat semakin tinggi jumlah kepulangan WNI (PMI dan Pelajar/Mahasiswa) di akhir tahun atau akibat kondisi darurat di berbagai negara yang diserang varian Omicron. Maka pengadaan fasilitas karantina yang adil dan tidak membebani tersebut menjadi sangat penting agar mereka bisa pulang dengan aman, selamat, dan tidak menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Dan Rakyat juga merasakan hadirnya Negara yang melaksanakan kewajibannya untuk melindungi seluruh Rakyat Indonesia, termasuk PMI dan Pelajar/Mahasiswa yang pulang dari Luar Negeri,” pungkasnya.(*)