Soeharto Paksa Lee Kuan Yew ke Makam Usman-Harun (1)
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan Presiden ke-2 RI sempat bersitegang soal Usman dan Harun yang divonis hukuman mati.
Editor: Ade Mayasanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Febby Mahendra Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua anggota marinir Indonesia, Usman dan Harun, divonis hukuman mati oleh pengadilan Singapura pada pemerintahan Orde Lama. Mereka dituduh melakukan infiltrasi ke Singapura terkait operasi konfrontasi dengan Malaysia.
Untuk menyelesaikan masalah itu, Soeharto menunjuk Abdul Rachman (AR) Ramly yang ketika itu berpangkat Letnan Kolonel Angkatan Darat, sebagai liason officer (perwira penghubung), mewakili pemerintah RI. Waktu itu Indonesia belum punya hubungan diplomatik dengan Singapura.
Ramly kemudian bertemu dengan pemerintah Singapura, menyampaikan informasi bahwa pemerintahan di Indonesia sudah beralih kepada Orde Baru yang berkeinginan Usman dan Harun tidak dihukum gantung. Ternyata keinginan itu membentur tembok. Singapura menyatakan masalah Usman dan Harun harus diselesaikan secara hukum.
Singapura termasuk negara persemakmuran sehingga keputusan hukum tertinggi ada di London, Inggris. Dibantu pengacara Singapura, pemerintah RI mengajukan banding ke London. Hasilnya, banding ditolak.
Ramly kemudian melapor kepada Soeharto, meskipun beberapa orang di Departemen Luar Negeri menyarankan agar tidak perlu menceritakan masalah itu kepada Presiden. "Bagi kami, masalah anak buah harus kami tuntaskan. Bagi saya pribadi, saya juga tidak bisa membiarkan warga negara Indonesia mendapat masalah di luar negeri. Saya tetap melapor ke Pak Harto," kata Ramly.
"Mengapa Singapura ingin sekali menggantung mereka," tanya Pak Harto kepada Ramly. "Kesimpulan umum kami, Pak, Singapura itu kan negara kecil. Sebagai negara kecil, mereka ingin eksis, maka mereka menggunakan alasan rule of law yang harus ditegakkan. Hukum yang diterapkan di Singapura adalah hukuman mati," jawab Ramly.
"Bagaimanapun kita tetap harus berusaha keras agar Usman dan Harus tidak digantung," kata Soeharto. Ramly kemudian minta kepada Soeharto menulis surat kepada pemerintah Singapura, isinya minta agar Usman dan Harun tidak dihukum mati.
Soeharto memenuhi saran Ramly. Berbekal surat tersebut, Ramly menemui Presiden Singapura, Yusuf Ishak, yang didampingi Wakil Perdana Menteri. Sang presiden menyatakan, urusan pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri Lee Kuan Yew, sedang dirinya hanyalah lambang negara tanpa kewenangan pemerintahan.
Karangan bunga
Celakanya, saat itu Lee tengah dalam perjalanan ke Amerika Serikat. Dari penelusuran Ramly, Lee ternyata singgah di Tokyo, Jepang. Ramly kemudian minta bantuan Duta Besar RI di Jepang, Rukminto, menemui Lee Kuan Yew untuk menyampaikan permohonan Soeharto terkait Usman dan Harun.
Ternyata Lee tidak bersedia menanggapi permohonan itu dengan alasan sedang dalam kondisi cuti dan tidak punya hak mengambil keputusan apapun. Menurut Lee, Wakil Perdana Menteri Singapura yang bertanggungjawab.
"Baiklah, surat Presiden Soeharto sudah kami terima dan akan kami pikirankan," kata Wakil Perdana Menteri Singapura yang ditemui Ramly. Sepuluh hari kemudian, pemerintah Singapura menyatakan hukuman mati tetap dilaksanakan.
Tak pelak hubungan Indonesia-Singapura menegang. Jelang eksekusi hukuman gantung, seluruh staf Kedubes RI di Singapura dipulangkan, kecuali atase pertahanan dan beberapa staf lain. Kapal-kapal RI juga pulang membawa warga negara Indonesia.
Meski gagal meloloskan Usman dan Harun dari tiang gantungan, Soeharto punya cara tersendiri untuk membela mereka. "Ketika PM Lee ingin berkunjung ke Indonesia, dua tahun setelah hukuman mati dilaksanakan, Pak Harto mempersilakan datang. Syaratnya, harus meletakkan karangan bunga secara langsung di makam Usman dan Harun di Taman makam Pahlawan Kalibata," kata Ramly.
Menurut Ramly syarat itu tidak lazim. "Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun. Baru setelah itu hunungan Jakarta-Singapura membaik," ujar Ramly.