DPR: Butuh 'Intervensi' Presiden Selesaikan Kasus KPK-Polri
Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari menegaskan 'konflik' Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Anwar Sadat Guna
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari menegaskan 'konflik' Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri membutuhkan kuasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ditegaskan Eva Kusuma Sundari, sikap SBY dalam penanganan kasus dugaan suap pengadaan alat simulator SIM, dengan kuasanya untuk membereskan 'konflik' dua lembaga ini. Dan tujuan pemberantasan korupsi bisa tercapai.
Eva menambahkan, sebenarnya hal ini isu di sisi pelaksana hukum di mana presiden punya kuasa untuk membereskan ketegangan kedua lembaga yang keduanya menjadi elemen yang dikomandani presiden.
Apalagi, tegas Eva Kusuma Sundari, Polri adalah anggota kabinet. Namun, sangat disayangkan karena sejauh ini SBY tidak melakukannya. Alhasil polemik ini terus bergelinding liar hingga sampai sekarang Irjen Pol Djoko Susilo yang menolak diperiksa oleh KPK, Jumat (28/9/2012).
Djoko adalah tersangka yang ditetapkan KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM di Korlantas.
"Tampaknya Presiden tidak melakukan 'intervensi' koordinasi. Sehingga berlarut-larut. Tidak ada pilihan lain selain ke Mahkamah Agung (MA) untuk meminta fatwa soal sengkarut ini," ungkapnya kepada Tribun, Jakarta, Senin (1/10/2012).
Lebih lanjut, Politisi PDIP ini mengatakan fungsi koordinasi Presiden bisa merujuk isi Undang-undng (UU) KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Namun, menurutnya, agak memalukan sebenarnya, kepemimpinan presiden juga lemah dalam mendisipilinkan para bawahan untuk se-visi, misi, irama dalam combating tipikor yang tidak lain adalah program andalan presiden sendiri.
Sebagaimana diketahui, selain KPK, Polri juga menangani kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri tersebut.
Penyidikan di Bareskrim Polri tak menemukan adanya tindak pidana yang dilakukan Djoko sehingga ia hanya berstatus saksi. Sebaliknya, KPK memiliki cukup bukti bahwa Djoko diduga menerima suap senilai Rp 2 miliar ketika menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri pada 2011.
Polemik sengketa kewenangan muncul setelah Polri menetapkan lima tersangka dalam perkara simulator. Tiga di antaranya juga telah ditetapkan tersangka oleh KPK. Ketiga tersangka Polri itu adalah Wakil Kepala Korlantas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek.
Pemenang tender, yakni Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukotjo S Bambang.
Polri tidak menetapkan Djoko sebagai tersangka, tetapi menjerat Bendahara Korlantas Komisaris Legimo.