Konvensi Capres, Strategi Jitu untuk Parpol Peserta Pemilu 2014
Ide untuk melakukan konvensi partai politik saat pemilu tahun 2014 mendatang mencuat kembali
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ide untuk melakukan konvensi partai politik menentukan kandidat presiden saat pemilu tahun 2014 mendatang mencuat kembali.
Terobosan yang pernah dilakukan oleh partai Golkar tersebut dianggap tepat sebagai strategi jitu untuk partai politik, karena ide itu bisa membuat sebuah partai politik berbeda dan menarik dibandingkan lainnya.
"Pemilu 2014 adalah pemilu dengan hanya 12 partai sebagai pesertanya, hampir bisa dipastikan faktor kedikenalan partai oleh masyarakat pemilih menjelang hari H, akan maksimal dan merata. Artinya pemilu 2014, partai-partai tidak lagi bisa mengandalkan keterkenalan partainya. Mau tidak mau partai-partai harus mampu mencari strategi jitu yang membuatnya berbeda dan menarik dibanding partai lain," kata Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jeffrie Geovanie dalam pernyataan yang diterima Tribunnews.com, Jumat(5/4/2013).
Sekedar mengingatkan, Golkar pernah melakukan konvensi di bawah kepemimpinan ketua umumnya Akbar Tanjung, saat itu partai Golkar tengah terpuruk, setelah konvensi capres bergulir, hebohlah politik nasional.
Masyarakat pemilih dipaksa untuk mengikuti dari hari ke hari konvensi tersebut.
Dan terbukti kemudian Golkar memenangkan pemilu.
Menurut Jeffrie ide konvensi Golkar tersebut tinggal disempurnakan saja saat ini, misalnya penentuan pemenang diserahkan pada pemilih di Indonesia melalui survei yang dilakukan oleh lembaga yang kredibilitasnya mumpuni. Dengan begitu akan banyak capres-capres alternatif mengikuti konvensi itu.
"Dan tentu saja tinggal dibuatkan panggung-panggung di televisi nasional perdebatan antara capres-capres tersebut. Masyarakat jadi melihat dan mengenal kemampuan calon pemimpin mereka,"ujarnya.
Ide konvensi capres ini lanjut Jeffrie sangat ideal sekali namun akhirnya kita harus terbangun dari mimpi mengingat perilaku para pemilik partai yang tampaknya tidak akan berkenan melakukan itu dengan seribu alasan pembenaran.
"Jadi bila ingin itu terwujud buatlah partai baru dan ikhlaskan untuk menyerahkan kepada publik pemilih dalam menentukan capresnya,"katanya.
Sementara itu,Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Endang Tirtana mengatakan tradisi konvensi politik pada awalnya dilakukan pada tahun 1766 di Amerika yang selanjutnya berkembang dan terus dipertahankan dalam tradisi partai politik di banyak negara di dunia.
Konvensi partai ini kata Endang terbukti mengundang gairah politik di masyarakat. Media yang senantiasa memberitakan dari hari kehari mengenai calon presiden yang diusung bisa menjadi wadah untuk mengisi gap keterjarakan informasi antara kandidat presiden dengan pemilih, sehingga pemilih tidak terkesan "membeli kucing dalam karung".
"Meskipun tidak bisa ditampik juga, bahwa "bisnis konvensi" bisa menjadi hal negatif juga dalam partai ketika "sawer uang" dijadikan strategi untuk memenangkan konvensi," ujar Endang.
Selain itu juga, kata Endang banyak pandangan yang menilai bahwa konvensi bisa menimbulkan perpecahan partai karena calon-calon yang kalah akhirnya membuat manuver-manuver politik.
Konvensi menurut Endang belum menjadi budaya partai politik di Indonesia.
Pertama, butuh keikhlasan dari para petinggi partai, karena mayoritas parpol di indonesia masih dikendalikan kelompok-kelompok tua yang tidak ingin lepas dari kekuasaan. Kedua, penting juga untuk mengakomodir calon yang high profile yang elektabilitasnya tinggi namun yang bersangkutan bukan kader atau pengurus partai misalnya Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Mahfud MD dan Din Syamsuddin.
"Terlepas dari "dua sisi koin" positif dan negatifnya, konvensi dalam penentuan calon presiden dalam sebuah partai sangatlah penting untuk dilakukan di Indonesia guna mendekatkan figur terhadap masyarakat yang selanjutnya membuka ruang dialog," ujar Endang.