Ahli: KPU Tak Bisa Dituduh Langgar Kode Etik karena Beda Tafsir
Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra mengatakan, perbedaan tafsir yang dibaca Komisi Pemilihan Umum sehingga
Penulis: Y Gustaman
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra mengatakan, perbedaan tafsir yang dibaca Komisi Pemilihan Umum sehingga tidak melaksanakan putusan Badan Pengawas Pemilu yang meloloskan PKPI sebagai peserta pemilu tidak melanggar kode etik.
"Persoalannya adalah soal beda tafsir. Karena ini beda tafsir, berat kalau dianggap pelanggaran kode etik. Itulah gunanya pembentuk undang-undang menyediakan lembaga peradilan untuk menguji," ujar Saldi saat menjadi ahli oleh teradu KPU di sidang DKPP, Jakarta, Rabu (10/4/2013).
Menurut Saldi, dalam Pasal 259 ayat 1 UU No 8 Tahun 2012 dibelah jadi dua frasa yang setiap putusan Bawaslu bersifat final mengikat memang ada frasa kecuali. Tapi kalau KPU mau melaksanakan keputusan Bawaslu, kecuali itu bisa dihapuskan. Seandainya KPU tidak mau melaksanakan, karena ada dalil yang berbeda antara bawaslu dan KPU.
"Menurut pemahaman saya tidak keliru dan tidak salah KPU tidak melaksanakan. Kedua ketika tidak melaksanakan, juga dijamin oleh Pasal 259. Tapi kalau KPU tidak menerima, maka di frasanya masuk kategori tidak dapat dilaksanakan," terang Saldi.
Ketika KPU tidak mau melaksanakan putusan Bawaslu berdasar sidang ajudikasi parpol yang mengajukan sengketa tidak apa-apa. Karena bagi parpol dipersilakan mengajukan kerugian lewat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Jadi frasa itu penting dilihat karena ada frasa 'tidak dapat diselesaikan'.