Keluarga Korban Ingin Kasus Cebongan Diungkap Transparan dan Tuntas
Keluarga empat korban pembunuhan keji di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, DIY, terbang dari Kupang
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keluarga empat korban pembunuhan keji di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, DIY, terbang dari Kupang, NTT, ke Jakarta demi mencari keadilan dan harapan penuntasan kasus.
Di ibukota, mereka menemui pihak-pihak terkait yang dapat membantu dan mengawal proses hukum atas kasus kematian anggota keluarganya itu. Pihak yang ditemui, di antaranya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, Lembaga Perlindundan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Usai menemui Denny Indrayana, Yanny Rohi Riwu yang merupakan kakak salah satu korban, Gamaliel Yemitarto Rohi Riwu (33 th), mengatakan bahwa dirinya ingin kasus ini diungkap secara transfaran dan tuntas.
"Agar masyarakat seluruh Indonesia juga tahu bahwa hukum di Indonesia berjalan dengan baik," ujar Yanni saat berbincang dengan Tribunnews.com.
Dalam pertemuan dengan Wamenkumham, keluarga keempat korban mengusulkan dibentuknya Tim gabungan Pencari Fakta dan dilakukan proses peradilan umum kepada para pelaku. Namun, Wamenkumham menyatakan hal itu belum perlu dilakukan.
Yanny juga meninginkan penanganan kasus ini tidak diembel-embeli pemberian cap "preman" kepada keempat korban. Sebab, penanganan kasus keempat korban ini harus diberlakukan secara objektif.
Ia sependapat dengan Wamenkumham, bahwa pemberian cap preman tersebut bisa menjadi pengalihan isu atas perbuatan keji yang terjadi di Lapas Cebongan. "Jadi, tidak ada mengkotak-kotakkan antara si A dan si B," tandasnya.
Yanny menceritakan, bahwa adiknya, Gamaliel, adalah anak bungsu dari enam bersaudara, dari pasangan Bernadus Rohi Riwu dan (almh) Rin Ludji. Dan dia adalah anak lelaki satu-satunya di dalam keluarga.
Menurut Yanny, adiknya merantau di Yogyakarta sejak 2004 dengan status pekerjaan yang jelas, sebagai kondektur TransJogja di Yogyakarta dan pernah menjadi petugas keamanan di salah satu tempat spa.
"Gamaliel belum berkeluarga. Tapi, kebetulan dia anak bungsu, anak laki-laki satu-satunya, jadi dia memang anak manja tapi dia suka mengirim sedikit untuk keluarga, bantu-bantu papa. Dia termasuk anak yang baik," ujar Yanni sembari memegang foto mendiang adiknya.
"Dia anaknya baik, dia juga taat beribadah. Malahan sebelum kejadian kemarin, dia masih ikut kegiatan pemuda gereja di Yogya," kenangnya.
Yanny tak mendapatkan kabar dari adiknya tentang kejadian di Hugo's Cafe. Pertemuan Gamaliel dengan keluarga besar, yakni saat Gamaliel pulang ke kampung halaman pada saat ibiunda meninggal dunia pada 2012 lalu. "Waktu mama saya sakit, dia ada di Kupang. Setelah dia kembali ke Yogya, baru ada kejadian itu," kenangnya.
Yanny mengaku mendapatkan firasat buruk sebelum adiknya tewas dieksekusi di dalam tahanan. "Enggak ada pesan apa-apa. Waktu saya ke Yogya, dia kan pernah kecelakaan motor pada tahun lalu, saya hubungi dia, katanya jaga papa baik-baik, apalagi papa sudah tua sudah berumur 76 tahun, dan minta semua keluarga yang di Kupang saling mengisi satu dengan yang lain," ungkapnya.
Menurut Yanny, kabar duka kematian Gamaliel membuat hati keluarganya di Kupang sangat terpukul. "Orang tua, papa amat sangat terpukul, apalagi dia satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga," ujarnya.
Hal yang paling tidak bisa diterima oleh keluarga adalah proses meninggalnya Gamaliel.
"Saya dan keluarga besar kami sangat terpukul atas kejadian ini. Kami tidak menyangka dia pergi secepat itu. Apalagi cara perginya seperti itu," ucapnya.
Meski begitu, Yanni meyakini bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan kepada keluarganya terhadap kejadian tragis dan memilukan ini.
"Keluarga amat sangat terpukul. Tapi, kami percaya bahwa kami punya Tuhan Yesus tidak pernah tinggalkan kami seorang diri, pasti Tuhan berikan kami kekuatan," tukasnya.