Boni: Bukan Pelanggaran HAM, Tapi Kejahatan Non-Konvensional
Pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro bahwa penyerangan dan pembunuhan empat tahanan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro bahwa penyerangan dan pembunuhan empat tahanan LP Cebongan Sleman oleh 11 anggota Kopassus bukan bagian dari pelanggaran HAM menuai beragam reaksi publik.
Pro dan kontra atas pernyataan Menhan itu pun langsung meluncur setelah konferensi pers yang digelar di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (11/4/2013).
Redaksi Tribunnews.com mencoba menilik kasus penyerangan LP Cebongan apakah melanggar HAM atau tidak.
Adalah Dosen Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens yang akan melihat kasus ini termasuk pelanggaran HAM atau tidak.
Menurut Dosen UI yang tengah studi di Jerman ini, sebetulnya, disebut melanggar HAM atau tidak kasus penyerangan LP Cebongan ditentukan oleh motif, konteks, dan pelaku.
Jika ditilik dari aspek pelaku, yaitu aparat negara, yakni 11 oknum anggota Kopassus, kata dia, itu termasuk pelanggaran HAM.
Sedangkan, dari aspek motif, imbuhnya, tidak ada kaitan dengan negara, maka tidak disebut violation against human rights atau tidak melanggar HAM.
"Dari aspek konteks juga, aparat itu tidak dalam konteks melakukan tugas negara. Tapi dalam konteks kepentingan non-dinas, maka tidak bisa disebut pelanggaran HAM," ucap Dosen UI yang tengah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Humboldt, Jerman, kepada Tribunnews.com, Jumat (12/4/2013).
Lebih lanjut menurut Boni, seharusnya perdebatan mengenai kasus Cebongan, apakah kejahatan konvensional atau non-konvensional (white collar crime). Menurutnya, kalau konvensional, itu adalah kejahatan pidana umumnya seperti pembunuhan biasa, pencurian, dan lainnya.
Sedangkan kalau non-konvensional, kejahatan yang sistematis, dilakukan dengan pola yang terencana, dan untuk kepentingan yang lebih luas. Seperti, mafia bola, Mafia senjata, dan sebagainya. "Mafia bola itu pengaturan skors oleh bandar judi," ia mencontohkan.
"Saya berasumsi, kasus itu masuk kategori kejahatan non-konvensional. Ada dugaan kepentingan elite bisnis dan elite dari institusi keamanan yang bermain di dunia mafia. Artinya, ada simbiosis antara aparat keamanan, pelaku bisnis dan premanisme. Tiga serangkai ini yang merupakan konteks motif dari kejahatan Cebongan itu," terangnya.
Seperti diberitakan, penyerangan Lapas Cebongan disebut berlatarbelakang jiwa korsa yang kuat terkait pembunuhan Serka Santoso di Hugo's Cafe. Empat tersangka pembunuhan Santoso yang kemudian ditembak mati, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
Terkait peradilan apa yang akan mengadili 11 oknum anggota Kopassus pelaku penyerangan LP Cebongan, Boni berpendapat sebaiknya peradilan umum atau sipil.
Boni bercermin seperti kasus 1998, dimana militer memaksa memakai UU peradilan militer dan diadili di peradilan militer. Sementara sipil mendesak di peradilan sipil supaya ada asas keadilan proporsional.
Lanjutnya, kalau peradilan militer, pelaku yang dihukum, dan disanksi jabatan. Sedangkan kalau peradilan sipil, siapa yang berkepentingan di balik pelaku harus diseret duluan.
Artinya, kalau tentara membunuh karena perintah komandan, maka komandan duluan diborgol.
"Peradilan militer cenderung mengadili pelaku lapangan saja. Mestinya peradilan sipil menurut saya," ungkap Boni.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.