Menuntut Ilmu Dikelilingi Polusi Pabrik
Sebanyak 96 murid sekolah setingkat SD, menuntut ilmu setiap hari, dengan pemandangan asap polusi dari pabrik.
Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki satu kilometer jalan dengan lebar satu setengah meter di antara pabrik pengolah besi, sebuah bangunan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Istiqomah B berdiri.
Sekolah ini disesaki pabrik-pabrik gudang dan asap yang mengepul. Sebanyak 96 murid sekolah setingkat SD, menuntut ilmu setiap hari, dengan pemandangan asap polusi dari pabrik. Namun, kondisi itu tidak menyurutkan keinginan mereka untuk belajar.
Sekolah yang terletak di atas tanah garapan Jalan Kramayuda, Kampung Petukangan, RT 10/05, Rawaterate, Cakung, Jakarta Timur, berbatasan dengan tembok berlapis setinggi lima meter milik PT Kramayuda, Wahana Steel, dan Master Steel yang mengelilinginya.
Markamah (46), pendiri sekaligus kepala sekolah yang berdiri sejak 1987 menuturkan, dulu belum ada anak di sekitar kawasan itu yang mengenyam pendidikan.
Ibu dua anak akhirnya mendirikan Sekolah Bhineka Pancasila, lantaran terbentur masalah adminitrasi. Sejak 2002, sekolah tersebut bergabung dengan Yayasan Al-Istiqomah.
"Saya terketuk melihat anak kurang beruntung. Akhirnya, setelah dikirim ke sana ke mari, di mana setiap wilayah punya sekolah binaan sendiri, saya sampai di sini," tutur Markamah, saat ditemui Tribunnews.com di rumah yang bersampingan dengan madrasah miliknya, Kamis (2/5/2013).
Markamah menuturkan, MI tersebut memiliki empat ruang belajar, rata-rata tiap kelas diisi belasan hingga puluhan murid.
"Untuk kelas satu ada 18 siswa, kelas dua 20 siswa, sedangkan kelas tiga ada 14 orang. Jadi, kalau belajar digabung siswa kelas dua dan kelas tiga, jadi satu ruangan," jelasnya.
Sementara, siswa kelas 4 yang berjumlah 23 siswa, dan siswa kelas 5 yang memiliki 20 siswa, juga digabung dalam pemberian materi pelajaran, karena keterbatasan ruangan. Satu kelas sisanya digunakan untuk murid kelas 6.
"Kelas 6 cuma ada 6 orang, makanya siswa belajar di ruangan kami (kepala sekolah)," terangnya.
Menurut Markamah, para siswa umumnya warga yang bertempat tinggal di sekitar sekolah. Meski begitu, untuk iuran sekolah, pihaknya hanya menarik biaya seikhlasnya.
"Hampir seluruhnya orangtua mereka bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan Pulogadung. Bayaran per bulan di sini seikhlasnya saja," ungkapnya. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.