Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemilihan Hakim Agung di DPR Harus Diakhiri

DPR semestinya cukup menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang disodorkan oleh Komisi Yudisial (KY)

Penulis: Eri Komar Sinaga
zoom-in Pemilihan Hakim Agung di DPR Harus Diakhiri
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Koalisi Masyarakat untuk Peradilan Profesional mengajukan uji materil Undang-undang Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung tentang mekanisme pengangkatan calon Hakim Agung ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (12/2). Ujimateril disampaikan Kepala Bidang Penanganan Kasus Yayasan Lembaga Bantuan hukum, Edy Halomoan (tengah), dan Staf Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho. Kompas/Lucky Pransiska (UKI) 12-02-2013 

Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi(PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar menilai pemilihan calon hakim agung melalui uji kepatutan dan kelayakan di DPR harus diakhiri. DPR semestinya cukup menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang disodorkan oleh Komisi Yudisial (KY).

Menurut Zainal, dari sudut pandang historis terdapat risalah UUD 1945 yang menjelaskan pengisian jabatan hakim agung dengan memberikan peran porsi seleksi kepada KY. Sementara dari segi tekstual, sangat jelas perbedaan antara kata 'persetujuan' dan 'dipilih'.

"Jika tidak ada perbedaan antara kedua frasa tersebut, maka seharusnya UUD tidak melakukan pembedaan atas penggunaan kata tersebut dalam UUD yang pada faktanya memang berbeda," ujar Zainal saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan di MK, Jakarta, Kamis (16/5/2013).

Persoalan dasar pemilihan calon hakim agung lanjut Zainal, adalah pada ketentuan KY mengajukan tiga nama untuk dipilih satu diantaranya. Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan 'persetujuan' yang tidak lagi melakukan proses pilihan atas kandidat yang ada.

"Tetapi hanya menyetujui atau tidak menyetujui atas kandidat yang dicalonkan KY," kata Zainal.

Dari sudut pandang struktural, menurut Zainal, penunjukan jabatan hakim agung fase pertama adalah appointee atau penunjukan atau pengusulan yang jika dulunya sangat politis berubah menjadi lebih meryt dengan melibatkan lembaga tertentu untuk seleksi yang lebih bermutu.

BERITA REKOMENDASI

"Tahapan yang meryt dibuat di KY, lalu proses politisnya diberikan kepada DPR dalam bentuk persetujuan dan proses administratif di presiden dalam bentuk penetapan dan pengangkatan," kata Zainal.

Sehingga pilihan calon hakim agung KY diharapkan menjadi pilihan yang terbaik sehingga usulan yang dibuat KY adalah hasil terbaik untuk kemudian disetujui DPR.

"Oleh karenanya, seharusnya praktik yang terjadi akibat bergesernya paradigma UUD tentang persetujuan menjadi pemilihan di UU MA dan KY segera diakhiri," ujarnya.

Sebelumnya, sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Peradilan Profesional mengajukan permohonan uji materi pasal yang memuat kewenangan DPR dalam memilih hakim agung yang tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka menilai DPR sebagai lembaga politik tidak berhak turut serta dalam memilih hakim agung. Seharusnya, kewenangan DPR hanya sebatas menyetujui. Sehingga perbandingannya adalah 1:1 bukan 3:1.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas