Mahkamah Agung Ingatkan Denny Indrayana
Denny mengungkapkan kekhawatirannya bahwa sidang kasus Cebongan bisa berakhir dengan putusan yang kurang memenuhi rasa keadilan.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA--Mahkamah Agung (MA) mengingatkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana maupun kepada semua pihak untuk menahan diri, tidak berkomentar sidang kasus pembunuhan empat tahanan LP Cebongan, Sleman, yang sedang berjalan.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur, Senin (8/7), menentang semua pernyataan Denny. Seperti dimuat di dalam berita Kompas edisi Sabtu (6/7) lalu, Denny mengungkapkan kekhawatirannya bahwa sidang kasus Cebongan bisa berakhir dengan putusan yang kurang memenuhi rasa keadilan.
Banyak hal yang bisa memengaruhi putusan hakim, misalnya pangkat penasihat hukum yang lebih tinggi dibandingkan pangkat majelis hakim. Hakim pun dinilai mengajukan pertanyaan yang sifatnya administratif, seperti prosedur operasi standar (SOP) pembukaan pintu LP dan bukannya fokus untuk menggali kasus pembunuhan yang menjadi substansi dakwaan.
Menurut Ridwan, kepangkatan penasihat hukum tidak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Aturan kepangkatan di Pasal 17 hanya menyebut tentang pangkat hakim tidak boleh lebih rendah dari pangkat terdakwa atau minimal sama.
Hkim, penasihat hukum, dan oditur militer dalam perkara Cebongan, lanjut Ridwan, berasal dari institusi yang berbeda. Hakim, meskipun bajunya sama-sama hijau, berasal dari Mahkamah Agung dan berada di bawah ketua kamar militer MA, sedangkan penasihat hukum dari Kodam.
”Jadi, walaupun hakim itu pangkatnya lebih rendah dibandingkan penasihat hukum terdakwa, mereka profesional dalam melakukan tugasnya. Hakim punya independensi. Tidak dalam pengertian komando,” Ridwan mengingatkan.
Menurut dia, hal semacam itu biasa terjadi di pengadilan. MA keberatan dengan pernyataan Denny tentang bagaimana cara hakim memeriksa saksi. Menurut Denny, hakim lebih banyak menggali sisi administratif.
”Denny kan menonton sidang hanya sekali saja, dia mendengarkan keterangan satu atau dua saksi. Padahal saksinya puluhan. Saksi yang lain barang kali ditanyakan mengenai persoalan lain (tak hanya sisi administrasi), sesuai dengan kompetensi tiap saksi. Oleh karenanya, jangan hanya melihat satu saksi lalu komentar. Pernyataan Denny itu bisa sudah mencampuri materi persidangan. Denny bisa dianggap mengintervensi. Padahal, dia kan seorang wakil menteri,” ungkap Ridwan.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengungkapkan, tidak benar bahwa dirinya berkomentar hanya setelah mendengarkan keterangan satu atau dua saksi. Komentar tersebut diberikan setelah berdiskusi dan mendengarkan masukan Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan psikolog yang terus memantau persidangan.
”Adalah hak kami untuk memberikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Apalagi kami juga korban, institusi kami diserang, petugas kami luka-luka. Jangan sampai dengan alasan tidak boleh berkomentar, jalannya persidangan makin membuka peluang hadirnya ketidakadilan,” kata Denny.