Yusril Kritik SBY Terkait Hak-hak Narapidana
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahenda mengkritik Presiden Susilo Bambang
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Widiyabuana Slay
![Yusril Kritik SBY Terkait Hak-hak Narapidana](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20130707_persiapan-konvensi-capres-partai-demokrat_6917.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesi Bersatu Jilid I dan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahenda mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Yusril, sebenarnya yang harus dipenuhi bagi napi bukan hanya hak-hak dasar napi sebagai manusia, tetapi hak-hak napi itu sendiri.
"Hak-hak napi itu diatur dalam Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana dan detilnya diatur dalam Protokol Tokyo. Isi Konvensi PBB itu sudah dituangkan dalam UU Pemasyarakatan Tahun 1995," kata Yusril melalui pesan singkat, Minggu (14/7/2013).
Yusril menjelaskan hak-hak napi antara lain Hak Mendapat Remisi, Hak Cuti Menjelang Bebas, Mendapat Asimilasi, Hak Mendapat Bebas Bersyarat dan sebagainya. Namun, hak-hak itu diketatkan dengan Peraturan Pemerintan Nomor 99 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2012 untuk Napi-napi tertentu.
"Padahal perlakuan terhadap napi tidak boleh ada perbedaan," katanya. Ia mengatakan pengetatan bahkan penghilangan atas hak-hak tersebut menimbulkan keresahan yang meluas hampir di semua Lembaga Pemasyarakatan. "Tanjung Gusta hanya awal saja. Petugas LP juga dibuat pusing dengan PP 99 dan PP 20 karena terkesan bahwa kita mulai meninggalkan sistem pemasyarakatan, kembali ke sistem penjara," katanya.
Penjelasan SBY, kata Yusril, hanya mengemukakan agar hak-hak dasar napi dipenuhi. Hak dasar napi berbeda dengan hak-hak napi.
SBY, lanjut Yusril, sebaiknya meminta Menkumham menjelaskan perbedaan hak-hak dasar napi sebagai manusia dengan hak-hak napi, agar dapat memahami persoalan.
Presiden juga harus menegur Menkopohukam yang menyebut Terorisme, Narkotik, Korupsi dan sebagainya sebaga "extra ordinary crime" terkait dengan PP 99 dan 20.
"Minta Menkopolhukam membaca Statuta Roma tentang Pembentukan ICC dan berbagai literatur tentang crime against humanity agar dapat memahaminya. Presiden juga harus menegur Menkumham dan Wamennya agar pahami betul-betul UU Pemasyarakatan dan sistemnya, agar tidak salah membuat kebijakan," ungkapnya.