Jenderal Djoko Susilo dan Keris
Banyak yang terkejut saat ada ratusan keris menjadi koleksi Irjen Djoko Susilo, terdakwa kasus Simulator SIM dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com - Banyak yang terkejut saat ada ratusan keris menjadi koleksi Irjen Djoko Susilo, terdakwa kasus Simulator SIM dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kepemilikan keris 'sakti' Djoko Susilo terungkap dalam persidangan.
Bagi orang Jawa, seperti Djoko Susilo, memiliki sebilah keris adalah hal yang wajar. Dalam falsafah Jawa yang hingga kini masih diyakini banyak orang (sebagian yang lain menolak karena alasan tertentu), memiliki keris merupakan simbol laki-laki. Keris, bahasa krama (Jawa halus) disebut Curiga. Ada empat hal yang menjadi simbol kelengkapan manusia Jawa, yakni: Wisma (rumah), Turangga (kuda/kendaraan), Wanita (istri), dan Curiga (senjata) dan yang terakhir Kukila (burung/hobby).
Di kalangan Jawa dan suku lain, keris menjadi bagian dari busana. Orang Jawa akan menyebut berpakaian lengkap pasti akan menyisipkan keris di punggungnya (untuk suku lain juga bisa dipasang di depan perut). Keris untuk busana biasa dilengkapi dengan perhiasan yang mahal. Handel dan warangka (biasa disebut deder dan sarung) bisa menggunakan gading gajah yang tentu harganya tidak murah. Begitu juga dengan warangka, bisa menggunakan kayu langka yang tak ternilai harganya. Itu belum pendhok (bungkus terluar dari keris) yang bisa terbuat dari emas atau perak yang tentu juga mahal.
Sesungguhnya keris bukanlah dominasi budaya Jawa, karena di Indonesia keris juga berkembang di suku lainnya. Sunda, Bugis, Palembang, Bali, Lombok, Madura. Namun, bagi orang Jawa seperti Djoko Susilo dan lainnya, keris diposisikan menjadi bagian hidup. Oleh karena itu, di beberapa kota tidak mengherankan kalau ada kelompok-kelompok penggemar, pegiat Keris yang langgeng.
Keris belakangan ini bukan sekadar pelengkap "hidup", tetapi juga sekaligus bisa menjadi pelengkap "dompet". Bisnis keris berkembang bagus, dan banyak orang yang menggantungkan hidup dari bisnis itu. Seperti halnya kuda, burung, atau lukisan, harga (yang lazim disebut mahar) keris sulit dipahami. Semua itu tergantung kecocokan rasa antara calon pemilik dengan keris tersebut. Belum tentu keris yang mahal untuk tokoh A juga akan dihargai sama oleh tokoh B. Nilai jual sebilah keris tidak bisa disamakan dengan nilai jual mobil atau benda-benda lainnya.
Nilai sebuah keris bukan hanya terletak pada penampilan. Tetapi juga terletak dari nilai sejarahnya. Semakin penting orang yang pernah memiliki keris tersebut, semakin tinggi nilai maharnya, karena bisa dipastikan semakin tinggi jabatan seseorang tentu koleksi kerisnya akan semakin bagus dan indah dan dibuat oleh empu (pembuat keris) yang tersohor.
Masa kini, di kalangan penggemar keris di Jawa, ada beberapa hal yang penting untuk dikenali. Tangguh (masa pembuatan), pamor (ragam hias), dapur (model) yang tersedia banyak sekali.
Tangguh Majapahit berbeda dengan tangguh Tuban, tangguh Madiun, Madura, Senopaten, Hamengku Buwono, Pakubuwono. Kamardikan dan lain sebagainya. Hanya mereka yang telah lama dan serius menekuni dunia keris yang bisa memahami. Karena bagi awam hal itu akan sangat sulit membedakan. Membaca tangguh keris bisa dilihat dari jenis besi yang dipergunakan sebagai bahan pokok, juga bisa dilihat dari jenis pamor atau pola garapnya. Yang pasti sama halnya manusia, di dunia ini tidak akan pernah ada keris yang persis sama.
Boleh jadi dua keris akan memiliki sama bentuk, tetapi dia akan memiliki perbedaan pada corak pamornya (hal ini terpengaruh oleh proses tempa). Ada ribuan atau bahkan jutaan keris di dunia ini.
Pada masanya, keris tidak pernah terpisah dari para ksartria dan pemimpin di Indonesia. Bisa dilihat dari gambar atau patung Diponegoro, Jenderal Sudirman atau yang lain. Sebetulnya banyak sekali petinggi negeri ini yang memiliki keris.
Jauh sebelum itu, keris juga menjadi bagian penting dalam kehidupan bernegara. Itu bisa dilihat dari kisah-kisah pewayangan Jawa. Keris terkait erat dengan kekuasaan. Contoh Keris Kala Nadah milik raja Astina, Pandu. Meski akhirnya keris itu justru membunuh dirinya sendiri saat bertempur melawan Raja Tremboko dari Pringgandani. Karena keris itu pulalah kemudian hari, anak keturunan kedua raja itu justru berbesan.
Keris Empu Gandring yang hingga sekarang tidak diketahui namanya, adalah keris yang paling populer. Keris pesanan Ken Arok pendiri Kerajaan Singasari itu akhirnya terpaksa minta korban banyak nyawa dari keturunan Ken Arok sendiri. Ada keris Tuding Sumelanggandring yang demikian populer pada zaman Majapahit menumpas pemberontak dari ujung timur Jawa.
Bahkan jaman para Wali, keris juga demikian populer. Di antaranya keris Sengkelat ber-luk 13. Lalu keris Setan Kober milik Adipati Jipang saat bertempur melawan kekuasaan Pajang di bawah Sultan Hadiwijaya. Kemudian Keris Joko Piturun yang dikaitkan dengana kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta.
Dari masing-masing keris itu kemudian melahirkan cerita dari mulut ke mulut yang kemudian melegenda. Percaya atau tidak, silakan memutuskan sendiri sesuai keyakinan masing-masing.
Di jaman orde baru, keris seperti barang wajib dimiliki atau dikoleksi para penyelenggara negara. Pada masa itulah keris menjadi primadona, karena setiap tamu negara yang datang Presiden Soeharto selalu memberikan keris sebagai cindera mata. Jika Soeharto sudah memesan keris, otomatis anggota kabinet yang lain hingga Dirjen akan mengikutinya.
Buku tamu di rumah Ki Djeno Harumbrojo (almarhum) di Yogyakarta membuktikan hal itu. Bahwa kebanyakan orang penting, penyelenggara negara atau swasta memesan keris untuk dikoleksi.
Ada dua golongan penggemar keris. Golongan pertama menonjolkan estetikanya. Golongan kedua menonjolkan kesaktiannya. Namun dalam perkembangan masa kini golongan pertamalah yang lebih menonjol. Keris dikoleksi bukan karena kesaktiannya, tetapi lebih karena keindahannya. Jenderal Djoko Susilo termasuk golongan yang mana? Anda sendiri yang menyimpulkan. (ignatius sawabi)