Putusan Kasus Bioremediasi Chevron Diwarnai Beda Pendapat Hakim
Widodo divonis dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider tiga bulan kurungan.
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Widodo divonis dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider tiga bulan kurungan.
Widodo adalah Ketua Tim Penanganan Isu Sosial Lingkungan Sumatera Light North (SLN) di Kabupaten Duri, Riau pada PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, menyatakan Widodo terbukti menyalahgunakan kewenangan dan menguntungkan orang lain atau korporasi, terkait proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau pada periode 2006-2011.
Sama seperti putusan terhadap pegawai PT CPI sebelumnya Endah Rumbiyanti, putusan majelis hakim terhadap Widodo juga diwarnai dissenting opinion (perbedaan pendapat) tiga dari lima hakim yang memimpin sidang.
"Karena ada perbedaan dan setelah musyawarah sungguh-sungguh tidak sampai mufakat, maka diambil dengan suara terbanyak, yaitu terdakwa Widodo terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, melanggar pasal 3 jo pasal 18 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan subsider," kata Ketua Majelis Hakim Sudharmawati Ningsih, saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (19/7/2013).
Dalam pertimbangannya, Sudharmawati dan hakim anggota satu Antonius Widijananto mengatakan, Widodo terbukti menyalahgunakan wewenang dalam menentukan harga perkiraan sendiri (HPS) dalam pelaksanaan bioremediasi.
Widodo juga dianggap tetap menggunakan PT Green Planet Indonesia (GPI) untuk melaksanakan bioremediasi, dan tetap membayar ke GPI untuk pelaksanaan proyek tersebut.
Padahal, izin PT GPI sudah habis. Sehingga, dianggap merugikan keuangan negara sebesar 6,9 juta dolar Amerika Serikat (AS), dari pembayaran ke GPI dan PT Sumigita Jaya (SGJ).
Berbeda dengan Sudharmawati dan Antonius, hakim anggota dua Annas Mustaqim menyatakan Widodo terbukti melakukan tindakan melawan hukum dalam pelaksanaan proyek bioremediasi.
Itu sesuai dakwaan primer, yaitu melanggar pasal 2 ayat 1 Jo pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sementara, hakim anggota tiga Slamet Subagyo menyatakan, Widodo tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tuntutan dan dakwaan penuntut umum dari Kejaksaan Agung. Sehingga, Widodo harus dibebaskan dari segala tuntutan.
"Dari fakta persidangan terungkap ,pengumuman pemenang lelang baru 21 Juni 2008, dan terdakwa tidak terlibat. Sedangkan peristiwa pada 20 Februari 2008, yang disebut pengumuman pemenang lelang sesungguhnya adalah penyusunan HPS sebesar 7,2 juta dolar Amerika," papar Slamet dalam sidang.
Slamet menambahkan, posisi Widodo ketika bioremediasi, masih sebagai konsultan representatif di Sumatera Light South (SLS), dan bukan tim leader di SLN.
Ditambah lagi, kontrak kerja bioremediasi dengan PT GPI sudah mendapatkan izin dari BP Migas. Sehingga, penetapan lelang telah sesuai pedoman lelang baraang dan jasa.
"Bahwa tidak benar Widodo bekerja sama dengan Direktur PT GPI Riscky melakukan bioremediasi dengan tidak benar, karena terdakwa tidak memiliki kewenangan lakukan kegiatan bioremediasi di SLN," beber Slamet.
Hal senada diungkapkan hakim anggota empat Sofialdi. Menurutnya, Widodo tidak terbukti bersalah sehingga harus dibebaskan.
"Terdakwa dipindahkan ke Duri pada Agustus 2008, maka terdakwa tidak ikut lagi dalam proyek bioremediasi di SLS," urai Sofialdi.
Juga, lanjutnya, tidak ditemukan kerugian negara, karena keuntungan yang diterima PT GPI wajar, atas pekerjaan bioremediasi tahun 2006-2011. Sehingga, tidak ada kaitannya dengan Widodo.
Vonis yang dijatuhkan terhadap Widodo jauh lebih rendah dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum. (*)