Anhar Gonggong: Tolak Permintaan Maaf Belanda
Pemerintah sebaiknya menolak permintaan maaf Belanda dalam berbagai tragedi pembantaian sadis yang dilakukan selama menjajah Indonesia.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah sebaiknya menolak permintaan maaf Belanda dalam berbagai tragedi pembantaian sadis yang dilakukan selama menjajah Indonesia.
"Kecuali, jika Belanda mengakui Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, dan bertanggung jawab atas pembunuhan dalam berbagai bentuk pada 1949-1959 dalam rangka mengembalikan penjajahannya di Indonesia," ujar Sejarawan LIPI Anhar Gonggong dalam diskusi permintaan maaf Belanda bersama Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung dan anggota DPD RI Abdul Azis Qohhar Mudzakkar di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Anhar mendesak pemerintah dan rakyat Indonesia menolak permintaan maaf Belanda terkait pembantaian sadis yang dilakukan di Sulawesi Selatan yang terkenal dengan tragedi Westerling, 10 November 1945 Surabaya, maupun pembunuhan lain yang melanggar HAM di seluruh wilayah Indonesia.
“Kita tahu perlawanan rakyat Sulawesi Selatan sangat kuat terhadap Westerling karena menolak Belanda yang akan membentuk Indonesia Timur . Untuk itulah pembantaian sadis itu dilakukan,” ujar Anhar Gonggong.
Bahkan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda, menurut Anhar dinilai illegal, karena Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, dan Indonesia pun tak mengakui klaim Belanda yang menyatakan Indoensia merdeka pada 27 Desember 1949.
“Dan, yang harus dicatat dalam peristiwa Westerling, itu yang menjadi pahlawan adalah rakyat, dan bukan mereka yang bergelar selama ini. Karena rakyatlah yang melindungi para pejuang itu dari teror Belanda,” ujarnya.
Batara mengatakan jika pengakuan Belanda atas kemerdekaan RI hanya secara de facto, dan bukan secara de jure (hukum internasional) yang justru mengakui pada 17 Agustus 1945. Karena itu dia menegaskan agar permintaan maaf Belanda itu harus ditolak.
Mengingat hal itu menyangkut martabat dan kedaulatan bangsa, dan apa yang dilakukannya itu termasuk pembantaian massal atau genoside dalam peristiwa Westerling, Rawa Gede dan lain-lain.
“Permintaan maaf dengan akan menggantinya dengan uang itu sebagai bentuk penghinaan. Kita tak akan minta konpensasi karena nyawa itu tak bisa dinilai dengan uang. Itu hanya akal-akalan Belanda saja. Apalagi menyebut beberapa orang dari ribuan korban, apakah itu tak akan menimbulkan konflik sosial? Ditambah lagi ahli warisnya kini belum didata secara akurat,” ujarnya.(js)