Saksi Sebut Bachtiar Bachtiar Abdul Fatah tak Terlibat Bioremediasi
Terdakwa Bachtiar Abdul Fatah seharusnya dinyatakan tidak terlibat dalam proyek bioremediasi PT CPI di Riau.
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Damian Tice, Engineering Teknik Sipil PT Chevron Australia menilai, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah seharusnya dinyatakan tidak terlibat dalam proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) di Riau.
Kesaksian tersebut disampaikan pria berkebangsaan Australia, dalam sidang kasus bioremediasi dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (20/9/2013).
"Tidak ada keterlibatan atau kesalahan Bachtiar Abdul Fatah dalam proyek bioremediasi dengan kontrak nomor 7861OK," kata Damian.
Mantan Pemimpin Tim Sipil dan Operasi serta Manajer Divisi Infrastruktur Peralatan dan Servis PT CPI Minas menuturkan, Bachtiar tidak terlibat proyek bioremediasi, karena Bachtiar baru tiba di Indonesia pada 2009 dari Amerika Serikat (AS).
"Dia baru tiba di Indonesia setelah 2009, dan tender sudah selesai, dan pemenangnya sudah ditetapkan," jelas Damian.
Menurutnya, saat itu PT CPI dalam proses transisi kepemimpinan, yakni Bachtiar Abdul Fatah akan menjabat General Manajer (GM) menggantikan Yanto Sianipar. Jadi, kata Damian, Bachtiar waktu itu belum menjabat GM.
"Saat itu dalam masa transisi, Bachtiar akan menjadi GM. Tapi, jabatan GM masih dipegang Yanto Sianipar," ujarnya.
Damian mengaku pernah bekerja bersama Bachtiar selama tiga bulan di PT CPI Riau. Ia bekerja di PT CPI selama lima tahun, Mei 2005-Juni 2009. Selama kurun waktu tersebut, ia menduduki dua jabatan.
"Di Minas Sumatera, saya punya dua jabatan. Pertama, 1 Mei 2005 sampai Desember 2007, sebagai Pemimpin Tim Sipil dan Operasi. Lalu, pada Januari 2008 sampai Juli 2009, menjadi Manajer Divisi Infrastruktur Peralatan dan Servis," ungkapnya.
Damian membenarkan, selama bekerja di PT CPI Minas Sumatera dan menjabat dua jabatan tersebut, terdapat proyek bioremediasi alias pemulihan atau pernormalan tanah yang terkena limbah minyak.
Menurutnya, sebagai Tim Manajer, ia punya tanggung jawab terhadap kegiatan lingkungan hidup, termasuk pelaksanaan proyek bioremediasi.
"Tanggung jawab saya mengawasi kegiatan lingkungan hidup, termasuk proyek bioremediasi, perawatan jalan, dan konstruksi-konstruksi sipil lainnya," papar Damian.
PT CPI bisa melaksanakan proyek bioremediasi, karena telah memiliki izin yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
"Ya, mereka punya (izin bioremediasi), dan pekerjaan bioremediasi dilakukan sesuai Kepmen 128 Tahun 2003. Proyek ini mengikuti ketentuan Kepmen 128," ujarnya.
Damian menerangkan, izin pelaksanaan bioremediasi yang dikontongi PT CPI, berakhir pada Maret 2008. Namun, sebelum izin habis, pihak CPI telah mengurusnya ke KLH.
Karena itu, selama izin belum keluar, KLH memersilakan proses penormalan tanah, dengan syarat tanah yang dipulihkan adalah yang berada di stock file. Kemudian, setelah izin diperpanjang, seluruh kegiatan penormalan tanah dilanjutkan kembali.
Harusnya Pakai UU LH
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Edward Omar Syarif Hiariej, SH Mhum menjelaskan, UU Pemberantasan Tipikor tidak bisa diterapkan dalam kasus bioremediasi.
Menurut Edward, bioremediasi merupakan suatu proyek lingkungan. Sehingga, penyelesaian kasus yang muncul dari kegiatan lingkungan, mestinya tunduk pada UU Lingkungan Hidup (LH). UU LH, ucapnya, tidak tunduk kepada UU Pemberantasan Tipikor.
"Maka, pengenaan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor dalam kasus bioremediasi, tidak memenuhi syarat," ujarnya.
Edward menerangkan, penyelesaian kasus bioremediasi seharusnya menggunakan UU LH, karena perlakuan membahayakan lebih dominan dibandingkan tindak korupsinya.
Berhubung pelanggaran yang diatur dalam UU LH yang tidak menundukkan diri kepada UU lainnya, maka menurut Prof Edward, berbagai persoalan yang muncul dari suatu kegiatan lingkungan seperti halnya bioremediasi, harus diadili menggunakan UU LH.
Sejauh ini, tutur Edward, berdasarkan hukum di Indonesia, UU di luar UU Pemberantasan Tipikor yang tunduk kepada UU Pemberantasan Tipikor hanya UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perpajakan.
"Namun, tidak ada penjatuhan sanksi pidana bila perbuatan yang dilakukan melibatkan perwakilan," paparnya.
Guru Besar Hukum Pidana UGM juga menjelaskan, perbuatan pidana adalah perbuatan yang diatur secara formal (tertulis dalam UU), dan terdapat ancaman bila melanggarnya.
Sehingga, terangnya, bila terjadi pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak disertai ancaman pidana, maka yang dikenakan seharusnya sanksi administratif.
"Sanksi administratif hanya difokuskan kepada apa yang dilanggar, dan tidak bisa dikaitkan dengan peraturan yang lebih tinggi," kata Prof Edward. (*)