Pengacara: Bachtiar Seharusnya Dituntut Bebas
Tidak ada saksi dan bukti yang menyatakan Bachtiar bersalah
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penasihat Hukum terdakwa korupsi dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah, Maqdir Ismail menilai seharusnya Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung berani menuntut bebas kliennya.
Sebab, menurutnya tidak ada saksi dan bukti yang menyatakan Bachtiar bersalah. "Beliau (Bachtiar) dinyatakan bersalah hanya berdasarkan kesimpulan jaksa," kata Maqdir ditemui usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/10/2013) malam.
Terlebih, menurut Maqdir, kliennya dinyatakan bersalah hanya karena dikatakan melanggar Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidung (LH) dan Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 BP Migas. Padahal, klaim dia, dalam Pasal 15 UU No.12/2012 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan disebut bahwa delik formil, termasuk korupsi itu berdasarkan undang-undang atau peraturan daerah (perda).
"PTK tidak ada sanksi pidananya, Kepmen juga tidak ada sanksinya. Jadi, bagaimana bisa dijadikan dasar," kata Maqdir.
Hal senada juga diungkapkan Bachtiar. Menurutnya, jika dirinya dinyatakan bersalah atas kontrak bridging, maka semua karyawan Chevron bahkan petingginya juga harus dinyatakan bersalah. Selain itu, Bachtiar mengatakan bahwa jaksa banyak memotong keterangan saksi maupun ahli.
Dia mencontohkan keterangan ahli hukum pidana, Laica Marzuki yang dipotong sehingga menguntungkan pihak jaksa. "Dari saksi ahli Laica dikutip jika izin habis maka aktifitas tidak sah. Padahal profesor Laica ungkap banyak hal, jika izin habis dan sedang diperpanjang dan tidak ada larangan pemberi izin dan pemberi izin ikut mengawasi maka itu sah," ujar Bachtiar.
Itu berarti, lanjut dia, ada beberapa fakta hukum yang dihilangkan demi menguntungkan pihak tertentu. Maqdir Ismail juga kecewa adanya pemotongan keterangan saksi ahli tersebut. "Yang paling menggelikan bagi saya, keteriangan Prof Laica, dipotong habis-habisan," ujarnya.
Ia juga menilai tuntutan terhadap kliennya melebihi dari dakwaan. "Dalam dakwaan, kerugian negara akibat pembayaran kepada PT SGJ adalah 221 ribu poin sekian, tapi tiba-tiba sekarang ini dituntut merugikan negara 228 ribu. Sementara disebut didakwan, invoice yang ditagihkan itu 2 kali, disebut 225 ribu sekian. Bagaimana pertanggungjawab ini?" ujarnya.
Menurutnya, kesalan tersebut sangat fatal dan merupakan rangkaian dari sejumlah kesalahan. Pasalnya, hakim praperadilan sudah membebaskan status tersangka Bachtiar dan putusan praperadilan tersebut tidak bisa dilakukan banding.
Seperti diketahui, Jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang dipimpin Antonius Widianto menyatakan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah bersalah dalan perkara dugaan tindak pidana korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
"Menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah lakukan tindak pidana korupsi sebagaimana di dakwaan primer," kata Jaksa Surma saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (2/10/2013).
Karena terbukti melakukan unsur-unsur tindak pidana korupsi pada dakwaan primer, imbuh Surma, maka JPU meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana 6 tahun penjara dikurangi masa tahanan kepada terdakwa Bachtiar Abdul Fatah.
Selain itu, JPU juga meminta majelis hakim agar menetapkan terdakwa membayar denda sebesar Rp 500 juta.
Namun JPU tidak menuntut terdakwa membayar uang pengganti karena itu sudah dilimpahkan kepada terdakwa Herlan bin Ompo.
"Barang bukti di kembalikan ke penuntut umum untuk digunakan diperkara Alexiat dan terdakwa diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 10 ribu," kata Surma.
Adapun pertimbangan yang memberatkan, yakni terdakwa Bachtiar Abdul Fatah tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi dan perbuatannya merigukan penerimaan keuangan negara. Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga.