Gerindra: Tak Mendesak Lagi Presiden Terbitkan Perpu MK
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Mahkamah Konsititusi (MK) tidak mendesak lagi untuk
diterbitkan.
Menurut Martin, jauh lebih baik ketimbang Perpu diterbitkan, adalah Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang direvisi.
"Perpu KPK tidak mendesak lagi. Sebaiknya UU MK saja yang direvisi," ungkap Politisi Gerindra ini kepada Tribunnews.com, Selasa (15/10/2013).
Apalagi, sudah hampir 2 minggu, Ketua non-aktif MK, Akil Mochtar tertangkap basah oleh KPK sedang menerima uang di rumahnya.
Namun apabila sampai dua pekan kedepan Presiden belum juga mengeluarkan Perpu tersebut, di pihak lain KPK sudah bertindak jauh menyidiknya. MK pun sudah membentuk Majelis Kehormatan untuk menyelidiki internal MK.
"Saya beranggapan Presiden tidak terlalu mendesak lagi untuk mengeluarkan Perpu sekarang. Saya sarankan agar Presiden membatalkannya saja," tuturnya.
Alasannya, syarat terpenting dari dikeluarkannya Perpu adalah adanya kepentingan yang sangat mendesak atau kegentingan yang memaksa, dimana Presiden merasa perlu mengeluarkan Perpu.
Lebih lanjut menurut dia, Presiden sebaiknya mengajak DPR untuk merevisi UU tentang MK yang berlaku sekarang. Revisi ini dapat dilakukan di awal tahun 2014, setelah memasukkannya lebih dahulu dalam Prolegnas 2014.
Dalam revisi UU MK ini, menurut Martin bukan hanya persyaratan menjadi calon hakim MK yang perlu diperbaiki. Tapi dasar pemikiran mengapa Hakim Konstitusi itu harus dibagi dari unsur Presiden, DPR dan MA perlu dikaji kembali.
"Begitu juga tentang jumlah Hakim Konstitusi, saya kira perlu ditambah menjadi 11 atau 12 orang," saran.