ForsiNU Jembatan Emas Kader NU Lintas Partai
ForsiNU diharapkan menjadi jembatan emas yang menghubungkan seluruh kader NU lintas partai
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - ForsiNU diharapkan menjadi jembatan emas yang menghubungkan seluruh kader NU lintas partai ke dalam sinergi, koordinasi, dan kooperasi dalam rangka meningkatkan peran dan marwah politik kenegaraan, kerakyatan, dan kemanusiaan NU, sebagai penjelamaan politik adiluhung (al-siyasah al-ulya), dan implementasi nyata Khittah NU 1926. Karena itu ForsiNU mendeklarasikan diri membentuk ForsiNU.
Demikian naskah deklarasi ForsiNU ‘Dari NU untuk Indonesia’ yang dibacakan oleh Hj. Lily Khotijah Wahid (Hanura), dan inisiator ForsiNU A. Effendy Choirie (Nasdem). Deklarasi ForsiNU diresmikan oleh Wakil Ketua Umum PBNU KH. As’ad Said Ali dan dihadiri oleh A. Mujib Rachmat (Golkar), Isa Muchsin (PPP), Abdul Kholiq Ahmad (PAN), M. Falakh (PDIP), Arfin Hakim (PKB), dan politisi dari Gerindra, PKPI dan lain-lain.
Para politisi Nahdlatul Ulama (NU) merapatkan barisan di Forum Silaturrahim Politisi Nahdlatul Ulama (ForisNU). ForsiNU diharapkan mampu memperjuangkan ideologi, visi, dan misi NU dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya melalui politisi yang ada di semua partai. Baik Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI. Karena pemutlakan satu alat perjuangan politik tidak dibenarkan.
Mengingat NU tak pernah lelah dalam mencintai dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak sebelum merdeka sampai sekarang ini, dan tak lagi berada dalam satu wadah perjuangan politik, sebagaimana komitmen Khittah NU 1926, di mana NU kembali sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyah dan berjarak dengan partai politik mana pun, dan NU keluar dari slogan ‘Tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana.
Watak politik NU yang heterogen terus berlanjut dan membentuk karakter politik NU yang tak pernah monolitik. Mereka berjuang dari banyak tempat dan dengan berbagai alat, untuk kemudian bertemu di NU sebagai ruang pengkhidmatan melalui komitmen, partisipasi, dan sharing program. Upaya untuk menghomogenkan kembali suara politik NU ternyata gagal.
Karena itu pemutlakan satu alat untuk perjuangan politik tidak dibenarkan, sebagaimana halnya pemutlakan tujuan perjuangan tidak dibenarkan dengan menggunakan semua alat (al-ghayah la tubarrirul washilah), bahwa partai adalah alat perjuangan, maka NU tidak perlu memutlakkan satu alat untuk mencapai tujuan perjuangannya.
Kenyataan bahwa kader-kader NU tersebar ke dalam berbagai partai politik dan mereka berkomitmen untuk ikut membesarkan NU dari banyak jalur merupakan fakta yang membesarkan hati.
Mereka masuk dari berbagai pintu (min abwaabin mutafarriqah) untuk kemudian kembali ke rumah besar Nahdlatul Ulama. Bertolak dari hal tersebut, maka para politisi NU dari berbagai partai berinisiatif membentuk ForsiNU. ForsiNU bertujuan membangun kebersamaan, meningkatkan kesalingpahaman, dan kerjasama strategis demi kebesaran dan kemasalahatan jam’iyyah NU.
Sementara itu KH. As’ad Said Ali menegaskan jika dalam mengawal NKRI itu dibutuhkan lima komponen penting bangsa ini, yaitu kiai dan ulama, intelektual, pengusaha, TNI/Polri dan politisi.
“Jadi, kalau beragama tidak didukung dengan perjuangan politik, maka tak bisa menuju surga dengan baik. Karena itu, politik dan agama itu satu kesatuan yang tidak terpisahkan,” ujarnya.
Menurut As’ad Said Ali antara NU, Pancasila dan NKRI itu harga mati. Sebab, salah satu diantara itu ada yang tercederai, maka semua bisa hancur. Maka politisi NU harus memperjuangkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) NU yang diwariskan oleh para ulama. Sehingga partai sebagai alat boleh apa saja, yang penting dalam jiwanya tetap NU.
"Namun, dalam politik itu jangan menggunakan kekuatan uang dan modal, melainkan dengan hati nurani. Semoga ForsiNU ini bermanfaat untuk Indonesia,” katanya.