Masyarakat Lebih Peduli Kebutuhan Pokok Ketimbang Masalah Korupsi
Masyarakat ternyata lebih merisaukan mahalnya kebutuhan pokok dibandingkan permasalahan korupsi.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Widiyabuana Slay
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat ternyata lebih merisaukan mahalnya kebutuhan pokok dibandingkan permasalahan korupsi. Meskipun masalah korupsi menjadi pemberitaan utama di media dalam dua tahun terakhir.
Direktur Riset Cirus Surveyors Group Kadek Dwita Apriani mengatakan sebanyak 27,9 persen dari total 2.200 responden merisaukan mahalnya harga kebutuhan pokok. Disusul keluhan soal kondisi jalan dan sarana transportasi yang buruk dengan 22,2 persen, dan kesulitan mencari lapangan kerja dianggap masalah utama oleh 16,3 persen responden.
"Pada urusan ke empat barulah ditempati oleh masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dikeluhkan oleh sebanyak 12,1 persen responden," kata Kadek di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Minggu (5/1/2014).
Kadek mengatakan adanya dua masalah yang menonjol di masyarakat sebagai penyebab gejolak sosial yakni kemiskinan dan pengangguran.
Masalah ini masing-masing dikhawatirkan oleh 44,3 persen, dan 37,2 persen. Sementara, potensi penyebab lainnya yakni perselisihan aliran keagamaan dan konflik antar etnis hanya dikhawatirkan sedikit warga, yakni oleh 6,7 persen dan 4,1 persen.
Selain itu, Kadek mengatakan adanya missing point antara penyerapan aspirasi rakyat oleh partai politik dan media. Ia mencontokan rakyat menginginkan jalan raya sementara media tidak mewacanakan masalah tersebut. "Justru yang menjadi perbincangan di media adalah masalah politik bukan perbaikan jalan seperti keinginan warga. Ini yang mengagetkan," katanya.
Selain itu juga adanya missing point antara warga dengan partai politik atau pemerintah. Masyarakat, katanya, mengidamkan harga kebutuhan sembako terjangkau tetapi di sisi lain pasar menyediakan harga yang mahal. "Dalam konteks ini pemerintah dan parpol gagal mengendalikan harga kebutuhan pokok. Padahal pemerintah dan parpol bisa melakukannya," kata Kadek.
Kadek menjelaskan hasil survei juga memperlihatkan pungutan di luar biaya SPP sangat memberatkan masyarakat (68,5 persen). Kemudian sebanyak 52,1 persen menyatakan sekolah melakukan pungutan meski ada jaminan dari negara bebas biaya pendidikan.
Salah satu alasan pungutan di luar SPP bisa diterima karena angka kepuasan masyarakat terhadap ketersedian sarana dan kualitas pendidikan masih di angka 59,6 persen. Sedangkan peningkatan kualitas tenaga pendidik hanya 57,2 persen. Keluhan masyarakat tentu akan berkurang jika kepuasan di bidang pendidikan mencapai 80-90 persen. Bahkan sebanyak 27,3 persen dan 28,3 persen menyatakan kurang puas terhadap sarana dan kualitas pendidikan tenaga pendidik.
Diketahui, responden dalam survei ini penduduk Indonesia berusia minimal 17 tahun atau sudah menikah dengan total 2.200 orang di 33 provinsi. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka melalui metode acak bertingkat. Kemudian dilakukan pengecekan lapangan sebanyak 15 persen dari total responden. Tingkat kepercayaan survei 95 persen dengan margin of error sebesar 2,2 persen. Survei dilakukan dari 20 November-30 Desember 2013.