GKR Hemas: Pengelolaan Keberagaman di Masyarakat Memprihatinkan
Wakil Ketua DPD RI, GKR Hemas menilai saat ini Indonesia mengalami kemunduran dalam pengelolaan keberagaman
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas menilai saat ini Indonesia mengalami kemunduran dalam pengelolaan keberagaman. Kondisi itu menurutnya sudah sangat memprihatinkan.
Ia menjelaskan, sebagaimana komitmen kebangsaan yang dikonsepkan para pendiri bangsa, Bhinneka Tunggal Ika disepakti sebagai pedoman kehidupan bangsa Indonesia yang jelas. Bhinneka Tunggal Ika juga telah disepakati jadi simbol pengakuan bahwa keberagaman adalah kekuatan jati diri bangsa Indonesia.
"Namun apa yang kita lihat belakangan ini justru banyak kebijakan diproses dalam tekanan paradigma politik mayoritas-minoritas yang mendorong lahirnya beragama kebijakan diskriminatif," kata GKR Hemas dalam Perayaan 13 Tahun Soegeng Sarjadi Syndicate di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (12/2/2014).
Hemas mencontohkan, peran negara yang sudah mendorong orientasi penyesatan pada ajaran agama dan kepercayaan tertentu yang selama ini sudah tumbuh bersama lainnya dengan damai. Menurutnya, intervensi peran negara ini tentu amat bertentangan dengan konstitusi.
"Kewenangan yang diberikan konstitusi adalah negara harus mampu menjamin kebebasan setiap warga negara tanpa kecuali menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan," tuturnya.
Lebih jauh Hemas mengatakan, contoh yang paling ironis yang dilakukan negara adalah dalam amandemen UU Adminduk No 23 Tahun 2006 yang kini menjadi UU No 24 Tahun 2014. Dimana dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) hanya enam agama yang boleh dicantumkan yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
"Praktik diskriminasi ini jelas melanggengkan praktik dan stigma penyesatan bagi masyarakat penganut agama di luar yang enam tadi," ucapnya.
Menurut Hemas, di Indonesia masih ada agama-agama 'asli' leleuhur Nusantara yang penganutnya masih eksis dimana-mana. "Seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan di Jawa, Parmalim di Batak, Alu Tadalo di Toraja, Tolotang di Sulawesi Selatan, Marpu-Jinitiu dan Boti di NTT dan masih banyak lagi," ucapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.