Tjahjo: Kasus Risma Contoh Politik Memecah-belah
Lakon skenario hitam dikhawatirkan saat ini sedang diputar di kancah politik nasional. Politik memecah belah dan adu domba bertebaran.
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Jakarta - Lakon skenario hitam dikhawatirkan saat ini sedang diputar di kancah politik nasional.
Politik memecah belah dan adu domba bertebaran. Ibarat kembang desa, PDI Perjuangan yang diperkirakan bakal mendulang suara besar dalam Pemilu 2014 kini sedang menjadi sorotan.
"PDI Perjuangan mencermati bekerjanya skenario hitam," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, lewat layanan pesan, Senin (17/2/2014) pagi. Skenario itu, ujar dia, tak hanya bekerja dengan cara yang tak demokratis tetapi juga memecah belah.
Dalam skenario tersebut, ujar Tjahjo, tak hanya instrumen negara disalahgunakan. Namun, intelijen pun dipakai untuk mencari setiap celah dari internal partai politik agar bisa dipecah belah.
Setelah potensi konflik dapat dipetakan, lanjut Tjahjo, skenario hitam itu mengadu domba kalangan internal partai politik. Kasus Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, menurut Tjahjo adalah salah satu kasus contoh teranyar dari praktik tersebut.
Padahal, papar Tjahjo, siapapun pemimpin Kota Surabaya maupun daerah lain di Indonesia pasti akan berhadapan dengan konflik kepentingan.
"Biasa saja," kata dia. Sayangnya, ujar dia, ada campur tangan skenario hitam untuk membenturkan para pihak terkait, terutama ketika para pihak itu berasal dari kepentingan atau partai politik yang berbeda.
Karenanya, kata Tjahjo, DPP PDI-P menyayangkan pihak-pihak tertentu yang berupaya menempuh jalan pintas memanfaatkan potensi permasalahan di lapangan. "Menyayangkan mereka yang cenderung merekrut orang-orang yang sudah sukses menjadi kepala daerah daripada melakukan kaderisasi internal," kecam dia.
Tjahjo berpendapat membajak kepala daerah dari partai lain merupakan langkah yang tak sejalan dengan upaya menciptakan demokrasi yang sehat.
Dalam kasus Risma, Tjahjo menegaskan bahwa partainya mendorong kepemimpinan di Kota Surabaya dapat menyelesaikan tugas membangun masyarakat Surabaya hingga akhir masa jabatan.
"Tugas menjadi pemimpin memang tidak mudah dan akan berhadapan dengan berbagai tekanan," kata Tjahjo. "Namun, itu justru akan memperkuat karakter kepemimpinan."
Tjahjo berkeyakinan Risma adalah seorang pemimpin. Karenanya, ujar dia, dia pun yakin Risma tak akan menyerah seberapapun beratnya tekanan yang Risma hadapi.
"Apa yg terjadi di Surabaya ini semakin mendorong pentingnya PDI-P mengosolidasikan seluruh putra dan putri terbaik bangsa, guna menyongsong momentum baru, sekiranya PDI-P dipercaya memenangkan pemilu," papar Tjahjo.
Risma, sebut Tjahjo, sebagaimana Joko Widodo di DKI Jakarta, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, dan Teras Narang di Kalimantan Tengah adalah contoh figur-figur pemimpin yang sangat diperlukan Indonesia di masa depan.
Tjahjo meminta seluruh jajaran PDI-P memegang teguh disiplin partai, menjaga soliditas, dan terus-menerus bekerja di tengah masyarakat maupun internal partai.
"Kami juga membenahi internal partai untuk menggerakkan masyarakat demi meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat," ujar dia.
Bak kembang desa, PDI-P memang tengah berada di pusat perhatian. Pada satu sisi dukungan luar biasa besar datang untuk mengusung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden, di sisi lain Risma yang adalah kader potensial lain yang kini menjadi Wali Kota Surabaya digoyang beragam isu.
Fenomena menyangkut keduanya bersilang-sengkarut dengan "problem klasik" di PDI-P yang kerap dinilai terlalu tergantung pada sosok Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Bila isu Joko Widodo terkait dengan tak kunjung adanya sinyal hijau dari partai itu untuk mengusungnya dalam Pemilu Presiden, maka sosok Risma disebut mendapat tekanan dari kalangan internal menyangkut beberapa kebijakan dan sikapnya yang oleh sebagian kalangan disebut berlawanan arus dengan kehendak partai.(*)