265 TKI Menunggu Vonis Hukuman Mati di Luar Negeri
Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah memaparkan dari 265 tersebut 39 di antaranya berada di Arab Saudi
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews, Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Migrant Care mencatat masih ada 265 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menunggu nasib hukuman mati seperti Satinah.
Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah memaparkan dari 265 tersebut 39 di antaranya berada di Arab Saudi dengan rincian lima sudah divonis tetap termasuk Satinah sementara sebagian lagi masih dalam proses hukum.
Kemudian di Malaysia ada 3 TKI yang sudah divonis, sementara ratusan lainnya masih dalam proses hukum, di Cina 22 orang sembilan diantaranya sudah di vonis, di Singapura satu orang, Qatar 1 orang, dan Iran 1 orang.
"Semuanya pemerintah yang tekel, semua diberi pendampingan," ucap Anis saat berbincang dengan Tribun di sekretariat Migran Care, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (25/3/2014).
Sejak Ruyati pada 2011 lalu dihukum mati, Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan para TKI yang menjakani proses hukum.
"Dipastikan semua ada pendamping ada lawyer," ucapnya.
Sementara sebelumnya, pemerintah RI seperti acuh tak acuh dengan TKI yang tersangkut hukum di negara tempatnya bekerja. Anis mencontohkan pada 2007 pihaknya menerima laporan atas nama Maryanto Ardilan yang terancam hukuman mati di Malaysia.
"Itu dia sewa lawyer, udunan bersama rekan-rekan buruh migrant. sampai sudah vonis. Saya ingat betul karena mereka mencatat iuran-iuran yang mereka kumpulkan dan baru ditangani KBRI 2011," ungkapnya.
Permasalahan TKI berakar dari dalam negeri sendiri. Masih banyak para TKI yang berangkat melalui PJTKI ilegal dengan memalsukan dokumen. Tetapi anehnya meskipun data-datanya dipalsukan tetapi mereka bisa mendapatkan paspor. Hal tersebut seperti yang terungkap baru-baru ini di Bareskrim Pori yang menyeret dua orang tersangka.
"Sebenarnya masalah itu dimulai dari sini, buakn di negara-negara itu, masalah di mulai dari sini, nah mestinya kalau mau menangani mestinya dari sini, bukan tiba-tiba di sananya. Jadi kalau menyebutkan orang sakit itu salah obat, sakit perut malah dikasih obat sakit kepala ya tidak sembuh malah over dosis," ungkapnya.