Migran Care Sindir SBY Sibuk Kampanye Jadi Tak Urus Kasus Satinah
Migrant Care mendesak supaya pemerintah Republik Indonesia (RI) menebus diyat yang dimintakan majikan Satinah
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Migrant Care mendesak supaya pemerintah Republik Indonesia (RI) menebus diyat yang dimintakan majikan Satinah untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati.
Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah mengungkapkan saat ini waktu pembayaran diyat semakin sempit, bila tidak dibayarkan maka dikhawatirkan Satinah akan dieksukusi hukuman mati.
"Kalau sekarang tenggang waktunya tinggal tiga hari dan pemerintah harus membayar itu. Itu untuk membayar kelalaian pemerintah. Bukan membayar untuk kejahatan Satinah," kata Anis saat berbincang di kantornya, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (25/3/2014).
Dikatakannya, pada saat kejadian 18 September 2007 yang berujung meninggalnya majikan perempuan Satinah semata-mata hanya untuk membela diri. Seharusnya pemerintah RI bersikap aktif melindungi setiap warga negara yang bekerja di luar negeri.
Anis yakin bila Satinah memukul majikannya hingga meninggal dunia lantaran dalam kondisi tidak ada pilihan lain. Menghubungi KJRI atau melarikan diri saat kejadian itu tidak dimungkinkan dalam kondisi Satinah saat itu.
"Dia mungkin tidak memiliki alternatif, terpaksa dia lakukan karena tidak mau mati di tangan majikan. Dia punya anak, punya suami, dia memikirkan masa depan anaknya, siapa pun ibu di dunia ini pasti akan berpikir cepat untuk bisa bertahan melanjutkan hidup karena masih punya anak," ungkapnya.
Masih dikatakan Anis, TKI yang menjadi korban pembunuhan di Arab Saudi pun banyak. Tetapi keadilan tidak pernah ditegakan. Harusnya dalam kondisi seperti ini pemerintah bisa menggugat balik perlakuan majikan-majikan di Arab Saudi yang sudah menghilangkan nyawa TKI.
"Kasus-kasus di mana banyak TKI kita yang mati karena disiksa, pada tahun 2008 empat PRT Indonesia itu disiksa selama tiga hari tiga malam oleh majikannya sekeluarga, dua meninggal sekaligus dan dua cacat permanen. Itu tidak diproses hukum, keluarga dipaksa memberi maaf dan keluarga diberi pengganti Rp 400 juta," ungkapnya.
Melihat hal tersebut, tentu tidak adil. Sebenarnya bukan ketidakadilan untuk satinah tapi ketidakadilan bagi bangsa Indonesia. "Kalau saya presidennya, saya pasti marah. Tapi mungkin karena lagi sibuk kampanye jadi tidak konsen tentang masalah ini," ujarnya.