Cak Imin Minta Publik Tidak Ramai Bahas Satinah
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Muhaimin Iskandar meminta kepada publik tidak terlalu ramai membicarakan TKI Satinah.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Muhaimin Iskandar meminta kepada publik tidak terlalu ramai membicarakan TKI Satinah. Ia meminta agar masyarakat mempercayakan kepada pemerintah dalam usaha membebaskan Satinah dari hukuman pancung.
"Sebaiknya tidak usah ramai, percayakan pada mekanisme surat presiden dan lobi presiden," kata pria yang akrab dipanggil Cak Imin di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Jumat (28/3/2014).
Cak Imin mengatakan hukuman pancung bagi Satinah sudah ditunda lima kali dengan lobi pemerintah. Ia menilai uang diyat yang diminta keluarga korban sebesar Rp 21 miliar tidak realistis.
"Di dalam dunia Arab tidak logis, umumnya diyat 150 unta atau sekitar Rp 1,5 miliar," katanya.
Dalam hukum tersebut, kata Cak Imin, pengadilan dan pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap uang diyat tersebut.
"Karena itu hak keluarga korban," tutur Cak Imin.
Ia menjelaskan selama ini pemerintah menggunakan dana APBN untuk mengganti diyat tersebut. Dalam usaha pembebasan Satinah, pemerintah maksimal menganggarkan Rp 12 miliar.
Mengenai pengumpulan dana yang dilakukan masyarakat untuk Satinah, Cak Imin mengapresiasi hal itu.
"Kalau pengalaman tahun lalu dana itu nanti akan kembali ke masyarakat, karena kita pakai dana pemerintah. Kalau sekarang belum tahu," ujarnya.
Satinah Binti Djumadi, TKW asal Dusun Mrunten Wetan Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, yang kini terancam hukuman pancung di Arab Saudi, masih meringkuk di penjara menunggu nasib.
Satinah divonis bersalah oleh pengadilan Arab Saudi membunuh dan mencuri uang sebesar 37 riyal. Namun Satinah membantah dan mengaku membela diri dari siksaan majikannya.
Satinah berangkat ke Arab Saudi untuk kedua kalinya tahun 2007 dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Putusan hukuman mati dengan pancung tersebut ditetapkan 3 Maret 2014 lalu.
Pemerintah berusaha membebaskan Satinah dengan melakukan lobby kepada pemerintah Arab Saudi. Negosiasi itu membuahkan pengampunan dari raja Arab Saudi.
Sayangnya hukum yang berlaku di Arab Saudi juga mengatur bahwa pengampunan yang paling menentukan adalah pengampunan dari pihak keluarga korban pembunuhan. Sejauh ini pihak keluarga majikan Satinah yaitu Nura Al Gharib meminta uang denda (Diyat) sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 25 miliar rupiah.