Parpol Diminta Tak Jadikan Isu Satinah sebagai Komoditas Politik
Sebagai seorang presiden, SBY patuh terhadap konstitusi dan saat mengeluarkan statement sudah dengan pertimbangan matang.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dosen FISIP Universitas Moestopo, Taufiqurokhman menyebutkan, upaya keras yang telah dilakukan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memperjuangkan pembebasan TKI Satinah binti Djumadi yang divonis hukuman mati di Arab Saudi, patut diapresiasi.
"Sebagai seorang presiden, SBY patuh terhadap konstitusi dan saat mengeluarkan statement sudah dengan pertimbangan matang. Itu adalah hasil sebuah kajian," katanya. saat dihubungi Jumat (28/3/2014).
Taufiq mengimbau kepada partai politik lain agar tidak menjadikan TKI sebagai komoditas isu politik.
"Perhatian pemerintah dalam hal ini sudah sangat besar melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Dan langkah yang dilakukan Pak SBY sudah benar. Parpol yang menjadikan TKI sebagai isu komoditas politik artinya sudah merugikan kepentingan bangsa dan negara," jelasnya.
Sementara itu, caleg DPR-RI Partai Demokrat A. Brahmana mengatakan, situasi politik saat ini memang sedang memanas. Namun Brahmana mengingatkan, presiden pasti sudah memikirkan jalan keluar terbaik bagi Sutinah yang saat ini sedang menunggu eksekusi.
"Termasuk bagaimana caranya agar diyath yang diminta bisa dibayar segera. Tapi perlu diingat juga, presiden juga tidak bisa melanggar aturan. Untuk pengeluarkan uang dari pemerintah itu juga harus persetujuan dari banyak pihak," kata Brahmana.
Kasus Satinah yang akan menjalani hukuman mati di Arab Saudi kini kembali menjadi isu nasional setelah beberapa kali Pemerintah Indonesia melakukan lobi-lobi terkait pembayaran uang diyath (kompensasi uang darah) yang semula diminta 15 juta riyal (Rp 45 miliar), kemudian diturunkan menjadi 10 juta riyal (Rp 30 miliar), dan terakhir keluarga korban mematok sebesar 7 juta riyal (Rp 21 miliar). Dan 3 April 2014 ditetapkan sebagai batas pembayaran diyath.