Mantan Kapolri Desak Kapolda Metro Tuntaskan Kasus Penyerobotan Lahan di Jalan Sudirman
sejak tahun 2009, kasus ini tidak ditangani oleh Polda Metro Jaya secara profesional
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Roesmanhadi mendesak Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Dwi Priyatno untuk segera menuntaskan kasus penyerobotan lahan dalam sengketa lahan seluas 16.600 m2 di Jalan Jenderal Sudirman, Kavling 2 Jakarta Pusat, yang terkatung-katung sejak tahun 2009 atau lima tahun lalu.
Lahan yang nilainya diperkirakan mencapai Rp 300 Miliar itu sama-sama diklaim dan disengketakan oleh dua pihak yakni PT Mahkota Real Estate (MRE) dan PT Tabungan Asuransi Pensiun (Taspen) yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) beserta anak perusahannya PT Arthaloka.
Menurut Roesmanhadi yang menjabat salah satu direksi di PT MRE, sejak tahun 2009, kasus ini tidak ditangani oleh Polda Metro Jaya secara profesional.
Padahal menurutnya, tidak terlalu sulit untuk polisi menuntaskan kasus penyerobotan dan sengketa lahan itu, karena sudah ada tersangkanya.
"Barang bukti sudah ada di polisi, tersangka sudah ada, saksi ada, aktor intelektualnya dari mana juga sudah terindikasi, tinggal bagaimana kemauan polisi saja," kata Roesmanhadi kepada wartawan di kawasan Kuningan, Minggu (6/4/2014).
Menurutnya ia sudah menanyakan hal ini ke Kapolda Metro, mengapa sudah 5 tahun kasus tidak juga tuntas. Ia menjelaskan hanya dua pihak yang terlibat dalam sengketa lahan itu yakni PT MRS dengan BUMN PT Taspen Persero serta anak perusahaannya PT Arthaloka Indonesia.
Menurut Roesman saat pihaknya melaporkan kasus penyerobotan lahan oleh seklompok orang pada tahun 2009 lalu, sudah ada 19 tersangka yang ditahan dan dihukum.
"Tapi otak atau inisiatifnya bukan 19 orang yang dijadikan tersangka oleh polisi 5 tahun lalu itu," katanya.
Roesmanhadi mendesak Kapolda Metro menangkap inisiator penyerobotan lahan itu. Ia menjelaskan sebelumnya Makamah Agung mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 472/PK/Pdt/2000 Tahun 2002 atas kasus sengketa lahan ini dan dalam putusan PK itu menyatakan bahwa tanah seluas 16.600 meter persegi itu adalah milik PT MRE. MA juga meminta PT Arthaloka mengosongkan dan menyerahkan lahan yang dikuasainya ke PT MRE.
Dalam putusan PK itu MA juga menyebutkan bahwa sertifikat HGB No.205/Karet Tengsin mengenai lahan itu atas nama PT Arthaloka dianggap tidak mempunyai landasan hukum dan harus dibatalkan.
"Keputusan ini sudah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seperti tertuang dalam dokumen Berita Acara No.18/2003 Eks pada Desember 2004," kata Roesman.
Eksekusi, katanya disaksikan Juru Sita, aparat keamanan dan Pemda. Pada saat itu PT MRE langsung memasang tanda batas tanah dan membangun pagar berikut pintu serta melengkapi dengan plang nama kepemilikan.
Namun kata Roesmanhadi pada tahun 2009 ada aksi penyerobotan lahan oleh sekelompok orang dengan menghancurkan tanda batas tanah dan plang nama kepemilikan lahan.
"Saat itu, kami laporkan ke polisi dan dipasang police line. Sebanyak 19 orang dijadikan tersangka dan dihukum," ujarnya.
Walaupun begitu kata Roesmanhadi, otak penyerobotan lahan sama sekali tidak disentuh polisi. Akibatnya kini, police line di lahan itu sudah hilang dan lahan juga digunakan oleh pihak lain.
"Padahal sengketa belum selesai. Tapi kok bisa police line hilang dan lahannya justru dipakai orang lain. Ini yang kami pertanyakan ke polisi. Kok bisa," katanya.
Roesmanhadi menerangkan awalnya kasus penyerobotan lahan ditangani Polsek Tanah Abang, lalu dilimpahkan ke Polres Jakarta Pusat.
"Tapi sekarang tidak ada kejelasan. Setelah sabar menunggu lima tahun, kami meminta polisi membuka kembali kasus ini. Tidak ada alasan bagi polisi tidak bisa menyelesaikan kasus ini dan membawanya lagi ke pengadilan. Yang utama yakni menangkap otak atau aktor intelektual yang menyuruh 19 tersangka menduduki lahan itu tahun 2009 lalu," papar Roesmanhadi.
Menarik Bagi Mantan Polisi
Roesmanhadi menjelaskan, sebagai mantan polisi apalagi bintang empat seperti dirinya, ia melihat kasus ini sangat menarik.
Kasus ini berawal dari kerjasama antara PT MRE dengan PT Taspen pada 1972. Sebagai pemilik lahan seluas 3,3 hektar di Jalan Sudirman Kavling 2, PT MRE sepakat menjual tanahnya seluas 10.000 meter persegi ke PT Taspen dan sisanya 2,3 ha akan digunakan dan dikelola sendiri oleh PT MRE.
Kemudian PT Taspen membangun gedung bertingkat di lahan 10.000 meter persegi yang dibelinya. Lalu, kata Roesmanhadi, PT Taspen menyerahkan pengelolaan gedung di lahan itu ke PT MRE dengan surat perjanjian dalam Akta Nomor 52 Tahun 1972 dengan jangka waktu tidak terbatas.
Namun kemudian pada 1982, PT Taspen melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan dua pimpinan PT MRE, Widodo Sukarno dan Rudy Pamaputera pada 1986. Kejaksaan yang menangangi kasus ini menyita lahan tanah 2,3 hektar milik PT MRE dan sejumlah asset lainnya. Dalam persidangan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan MA memvonis Widodo dan Rudy bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Namun untuk kepemilkan asset yang disita, termasuk tanah 2,3 ha, pengadilan memutuskan diserahkan ke pengadilan perdata, karena sesuai dengan hukum yang berlaku pengadilan perdata yang berhak menentukan status tanah tersebut.
Namun, PT Taspen melalui anak perusahaannya PT Arthaloka mengabaikan vonis itu dengan mengajukan permohonan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 25/ Karet Tengsin tertanggal 31 Maret 1992 atas lahan 2,3 hektar milik PT MRE tersebut.
Karenanya PT MRE mengajukan gugatan perdata terhadap kepemilikan lahan yang dikuasai PT Taspen dan Arthaloka ke pengadilan. Hasilnya, sampai pada tingkat Mahkamah Agung, putusannya adalah dari 2,3 ha tanah yang disita dalam kasus pidana itu, 16.600 m2 harus diserahkan kembali ke PT MRE.
Namun PT Arthaloka melalui Kementerian Keuangan melakukan upaya perlawanan hukum untuk menggagalkan eksekusi lahan tersebut.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerbitkan Surat Nomor PTJ.PDT/555.1170/2003 perihal petunjuk/perlindungan hukum atas pelaksanaan eksekusi lahan.
"Sehingga proses eksekusi lahan gagal dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan lahan tersebut aset negara," tutur Roesmanhadi.
Roesmanhadi menganggap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu hanya menganulir penetapan eksekusi dari PN Jakarta Pusat, namun tidak menggagalkan putusan MA Nomor PK/472/PK/PDT/2000. "Jadi tidak bisa dikatakan tanah 16.600 m2 itu adalah tanah negara seperti yang dikoar-koarkan oleh PT Taspen dan Arthloka selama ini," katanya. (Budi Sam Law Malau)