Surat Berharga Bank Century Sudah Sulit Dijual Sejak Awal
ia baru mengetahui SSB milik Bank CIC bermasalah karena tidak mudah dijual di pasar uang
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Century yang kini menjadi Bank Mutiara, ternyata sudah 'miskin' sejak awal. Pasalnya, sejak proses merger (peleburan) tiga bank (bank Danpac, Bank Piko, Bank CIC) menjadi Bank Century ternyata mewariskan masalah Surat-surat Berharga (SSB) yang sulit dijual.
Demikian diungkapkan mantan Direktur Utama Bank Century, Hermanus Hasan Muslim ketika bersaksi dalam perkara dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Menurut Hasan, ia baru mengetahui SSB milik Bank CIC bermasalah karena tidak mudah dijual di pasar uang bila dalam keadaan krisis dan butuh dana mendadak.
"Setelah saya masuk, ada laporan Direktur Treasury di Bank ini (Century) ada warisan SSB sejak 2001 dan 2002 tapi tidak liquid (cair) dan tidak bisa dijual di pasar uang. Sehingga kalau butuh dana tiba-tiba enggak bisa dijual. SSB-nya juga unik dan tidak seperti Sertifikat Bank Indonesia," kata Hasan saat bersaksi untuk terdakwa Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/4/2014).
Meski begitu, kata Hasan, nilai SSB Bank Century memang besar, yakni USD 224,6 juta atau setara Rp 2 triliun. Tetapi, dia tetap merasa khawatir apabila bank itu kesulitan modal dan tidak memiliki jaminan, maka bisa-bisa langsung ditutup Bank Indonesia.
Menurut Hasan, hal ini yang menjadi salah satu faktor jatuhnya Bank Century. Sebab pada krisis ekonomi dunia di 2008, para deposan besar baik perorangan maupun korporasi berlomba-lomba menarik simpanan mereka di bank yang saat ini bernama Bank Mutiara, sehinggan mengakibatkan situasi rush.
Karena tuntutan penarikan uang tinggi, Bank Century pun kesulitan modal untuk mengembalikan dana nasabah.
Namun, Hasan mengatakan dua pemegang saham pengendali Bank Century, yakni Rafat Ali Rizfi dan Hisyam Al Waraq, sempat memberikan jaminan modal sebesar USD 220 juta di Bank Dresdner, Jerman, sebagai pengganti jaminan SSB.
Dia juga mengaku berkali-kali mendesak Rafat dan Hisyam menyelesaikan permasalahan tersebut, dengan cara menekannya melalui Perjanjian Komitmen (Letter Of Commitment) antara direksi, pemegang saham pengendali, dan Bank Indonesia.
"Kami dari direksi juga bahu-membahu mencari tambahan modal di pasar uang, tapi sampai kalah kliring pada 2008 masalah SSB tidak terselesaikan," kata Hasan.