Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

R Priyono: Indonesia Itu Seperti 'Soldier of Fortune'

Syair lagu soldier of fortune mengisahkan, ibarat Ibu Pertiwi Indonesia yang selalu berharap cinta tetapi tidak pernah datang dari anak bangsa

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in R Priyono: Indonesia Itu Seperti 'Soldier of Fortune'
TRIBUNNEWS.COM/DANY PERMANA
Mantan Ketua BP Migas, R Priyono, saat masih menjabat kala menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/11/2012). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini, suasana hati Ibu Pertiwi Indonesia dapat digambarkan mirip dengan syair 'Soldier Of Fortune' (SOF), sebuah lagu hits yang dinyanyikan oleh Deep Purple, hard rock band asal Hertfordshire, Inggris yang popular pada tahun 1970-1980an.

Syair lagu yang ada dalam SOF mengisahkan, ibaratnya Ibu Pertiwi Indonesia yang senantiasa berharap akan cinta tetapi cinta itu tidak pernah datang dari bangsanya.  Meski usia Ibu Pertiwi menua tetapi bangsanya tidak pernah menjadi dewasa.

Demikian diungkapkan Mantan Kepala BPMigas, R. Priyono, dalam komentarnya mengenai nasionalisme, pada Selasa (13/5). Hal itu diungkapkan terkait dengan terpilihnya Priyono sebagai satu dari 21 Tokoh Berintegritas yang diusung oleh AM Putut Prabantoro, Ketua Pelaksana Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia pada pekan lalu.

Selain R. Priyono, terpilih juga para tokoh bangsa berintegritas; Didik Heru Purnomo (mantan Kasum TNI), Suryo Prabowo (mantan Kasum TNI), Oegroseno (mantan Wakapolri), Yunianto Sudriman Yogasara (mantan Dansesko AU), Basuki Tjahaja Purnama (Wagub DKI Jakarta), KH Maman Imanulhaq (Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizan, Majalengka), Abdul Kholiq Arif (Bupati Wonosobo), Lukas Enembe (Gubernur Papua), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Teras Narang (Gubernur Kalteng), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Herman Sutrisno (mantan Bupati Banjar), La Tinro La Tunrung (Bupati Enrekang), Yusuf Wally (Bupati Keerom, Papua), Bima Aria (Wali Kota Bogor), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Suyoto (Bupati Bojonegoro), Hugua (Bupati Wakatobi), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), dan Ignatius Jonan (Dirut PT KAI).

Dalam lagu itu, demikian mantan Kepala BPMigas itu bertutur, Ibu Pertiwi seakan berbicara dengan bangsanya seperti yang terlukis dalam SOF - http://youtu.be/K1TUlNZd10s

….Sudah berulangkali, Ibu Pertiwi bercerita tentang hidupnya yang menggelandang, yang senantiasa menunggu hari, saat ia dapat menyentuh tangan anak bangsanya dan menyanyikan banyak lagu. Dengan nyanyian itu, Ibu Pertiwi berharap dicintai dan tinggal bersama bangsanya, jika diminta (namun permintaan itu tak pernah datang).

Ibu Pertiwi merasa sudah menua dan lagu yang dinyanyikannya hanya bergema dari kejauhan, seperti desiran kincir angin di sekelilingnya. Berulangkali Ibu Pertiwi menjadi musafir untuk mencari sesuatu yang baru. Di hari-hari tuanya, ketika malam sungguh dingin, Ibu pertiwi berkelana tanpa anak bangsanya. Namun pada hari-hari itu, Ibu pertiwi mengira melihat anak bangsa berdiri di dekatnya. Meski disadari buta itu sering membingungkan, tetapi jelas anak bangsa yang diharapkan tidak berada di sebelahnya. Ibu Pertiwi merasa seperti Soldier Of Fortune…

“Lagu ini sangat mirip dengan lagu Kulihat Ibu Pertiwi. Bayangkan, kita tidak pernah memikirkan Ibu Pertiwi dalam kehidupan keseharian dan terus bergolak dengan kepentingan masing-masing. Dicontohkan, meskipun berbicara soal nasionalisme, rasa kebangsaan kita hanya untuk yang besar-besar seperti migas, tambang dll. Kita tidak pernah mempersoalkan Aqua Danone yang kita minum, meski perusahaan air kemasan itu milik Prancis. Atau, kita bicara soal ketahanan pangan, tetapi kita makan McDonald, KFC, atau mengimpor beras dari Vietnam, yang pengimpornya menjadi perdebatan sengit. Atau juga, kita bicara soal ketahanan pangan, namun lahan-lahan pertanian kita tergerus oleh beton-beton tinggi ,” ujar Priyono.

Berita Rekomendasi

Menurut mantan Kepala BPMigas itu, Indonesia adalah bangsa munafik yang senantiasa berteriak keras soal idealisme tetapi bertentangan dengan apa yang dilakukan. Begitu banyak orang berteriak soal kejujuran dan  sifat kesatria tetapi akhirnya melakukan serangan fajar ketika pemilu tiba dan rakyatpun menyediakan diri untuk diserang.  Atau, berteriak soal nasionalisme dan anti korupsi tetapi pada kenyataan, merupakan institusi yang korup. Dan yang mengerikan, menyatakan diri sebagai penegak hukum, namun kenyataan menjadi pelanggar hukum yang berat.

 
TANAH AIR BETA
Dari kacamata mantan Kepala BPMigas yang "terguling" ini, Indonesia membutuhkan sikap keteladanan para pemimpin bangsa. Munculnya sikap contradictio in actione yang bertolak belakang antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan dipengaruhi oleh kebanyakan pemimpin bangsa yang tidak memegang sumpah jabatannya. Demikian R. Priyono menegaskan.

Pada saat ini, ia mengaku, merasa tidak nyaman dan miris ketika menyanyikan lagu Indonesia Pusaka (Indonesia Tanah Air Beta) karya Ismail Marzuki. Lagu itu, menurutnya, sudah tidak sesuai lagi dengan jaman sekarang.

“Bagaimana rakyat bisa menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, ketika melahirkan saja sudah sulit, apalagi ketika menutup mata, lebih sulit lagi. Apakah Indonesia seperti yang dilukiskan dalam lagu itu, yakni tempat berlindung sampai akhir menutup mata? Perlu dipertanyakan lagi… Lha untuk hidup saja sulit,” tegas Priyono.

Oleh karena itu, nasionalisme bukanlah jargon politik tetapi sebuah sikap yang harus dibangun sejak kecil agar generasi berikutnya mencinta tanah air sebagaimana yang dikehendaki oleh para pendiri negara ini. Hal yang sama juga dengan sikap “anti asing”, bukanlah jargon politik.  Jikalau mau jujur, anti asing harusnya dilakukan dengan menolak semua hal yang berbau asing. Namun, kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh asing akibat dari globalisasi.

“Seluruh barang yang kita kenakan atau gunakan adalah produk asing. Ini akibat dari globalisasi. Globalisasi hanya bisa dihadapi dengan cinta  tanah air, bangsa dan negara termasuk produk sendiri. Membangun manusia Indonesia yang cerdas adalah cita-cita pemimpin bangsa karena mereka tahu sulitnya hidup sebagai bangsa budak penjajah. Menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera adalah syarat mutlak dalam menghadapi globalisasi. Namun untuk sejahtera perlu kerja keras dengan mengolah sumberdaya alam yang dimiliki.” tegas Priyono.
 
Priyono menjelaskan jika nasionalisme menjadi jiwa hidup bangsa Indonesia, semua harus sepakat untuk mengemban amanat Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal  jelas tertulis bahwa air, bumi dan segala kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai negara dan dikelola untuk kemakmuran setinggi-tingginya rakyat Indonesia. Namun, jika nasionalisme yang anti asing hanya ditujukan sesuatu yang besar seperti migas dan tambang artinya terjadi dualisme nilai yang diterapkan bangsa ini.

“Negara Uni Emirat Arab, sebagai contoh, penduduk aslinya hanya 35 persen dan sisanya adalah warga pendatang atau asing yang bekerja di situ. Bahkan untuk membangun negaranya, pemerintah Uni Emirat mengundang investor dan warga asing untuk masuk.  Dalam waktu tidak sampai 40 tahun, negara ini memiliki kekuatan ekonomi yang begitu hebat. Bagaimana bisa?” jelas pria asal Pati ini.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas