Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dalang Kerusuhan Mei 1998 Memantik Tanda Tanya Besar

Warga Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan, pembakaran, dan banyak perempuan kelompok ini menjadi korban pemerkosaan. Tapi siapa dalangnya?

Editor: Rendy Sadikin
zoom-in Dalang Kerusuhan Mei 1998 Memantik Tanda Tanya Besar
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN
Ratusan mahasiswa Trisakti melakukan aksi peringatan Tragedi Triksakti 12 Mei 1998 di sekitar bundaran Hotel Indonesia Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2013). Mahasiswa menuntut pemerintah segera menuntaskan kasus penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tragedi kerusuhan Mei 1998 telah 16 tahun berlalu.

Namun, hingga kini, belum ada orang atau pihak yang bertanggung jawab dan diberi hukuman atas kejahatan kemanusiaan yang menewaskan dan melukai banyak warga negara Indonesia, termasuk para perempuan yang menjadi korban pemerkosaan.

”Kini, yang terjadi adalah pembodohan dari penguasa. Orang-orang yang mengetahui sejarah sebenarnya justru menutup mulut. Oleh karena itu, perlu usaha terus-menerus untuk mengungkapnya,” kata Dewi Anggraeni, dalam peluncuran bukunya, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, di Toko Buku Gramedia, Jakarta, Rabu (14/5).

Hadir dalam diskusi ini antara lain Komisioner Komisi Nasional Perempuan Andy Yentriyani; Ruyati Darwin yang adalah ibu almarhum Eten Karyana, korban Tragedi Mei 1998; dan wartawan senior harian Kompas, Maria Hartiningsih. Hadir juga sejumlah aktivis perempuan.

Dalam bukunya tersebut, Dewi Anggraeni mengungkapkan rentetan kekerasan pada Mei 1998.

Data menunjukkan bahwa kerusuhan itu direkayasa, bukan terjadi spontan.

Warga etnis Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan, pembakaran, dan banyak perempuan kelompok ini menjadi korban pemerkosaan.

Berita Rekomendasi

Ratusan warga lain, terutama kaum tak mampu, juga tewas dalam bangunan yang sengaja dibakar. Mereka lalu disebut sebagai ”penjarah” sehingga disisihkan masyarakat.

Setelah peristiwa itu, para perempuan korban kekerasan dan pemerkosaan cenderung mengundurkan diri dari publik, menutup diri, dan putus asa.

Kondisi tersebut mendorong kelompok-kelompok masyarakat sipil, sebagian tergabung dalam organisasi perempuan, meminta negara untuk membongkar kasus ini, memproses hukum, dan menjerat orang atau pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Gerakan itu lalu melahirkan Komnas Perempuan.

”Kita harus terus berjuang untuk menemukan keadilan bagi para korban. Saya optimistis dan kita tak boleh meninggalkan jalur ini. Kita desak negara untuk memberikan pengakuan bahwa semua ini terjadi dan bagaimana terjadinya,” kata Dewi.

KEADILAN

Dalam tanya-jawab, Ruyati Darwin berkisah tentang anaknya, Eten Karyana, yang menjadi korban pembakaran di Yogya Plaza di Klender.

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas