AGRA: Polemik Kenaikan Harga BBM Hanya Tarung Pencitraan SBY-Jokowi
Polemik tentang perlu atau tidaknya pencabutan subsidi BBM antara Presiden SBY dengan Jokowi, dinilai tak menguntungkan masyarakat.
Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik tentang perlu atau tidaknya pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) antara Presiden SBY dengan Jokowi, dinilai tak menguntungkan masyarakat.
Tarik ulur penerapan kebijakan tersebut, diyakini hanyalah "pertarungan" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden RI terpilih Joko Widodo demi mempertahankan citra persona mereka masing-masing.
Hal tersebut, dituturkan Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Rahmat Ajiguna, Minggu (31/8/2014).
"SBY tak mau menaikkan harga BBM pada akhir masa jabatannya. Sebab, SBY masih memiliki harapan menaikkan kariernya. Sementara Jokowi, ingin menjaga pemerintahannya yang 'pro rakyat' lepas dari ini semua, tetapi dampaknya juga menyengsarakan rakyat," tutur Rahmat.
Padahal, kata dia, Presiden SBY maupun Jokowi bisa dipastikan mengetahui kebijakan mencabut subsidi BBM ini suatu keniscayaan karena merupakan "mandat" dari sejumlah lembaga pendonor dan Amerika Serikat.
Rahmat menjelaskan, rezim SBY maupun tim transisi Jokowi memiliki titik tolak yang sama terkait pencabutan subsidi BBM tersebut.
"Kedua pihak sama-sama menilai, jika subsidi energi tetap dipertahankan, akan mengakibatkan APBN perubahan 2014 dan APBN 2015 jebol. Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pada kuota BBM dalam negeri akan habis sebelum waktunya dan negara akan menanggung kerugian yang besar," tuturnya.
Tapi, sambung Rahmat, pencabutan subisidi BBM tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis karena pemerintah, sejak tahun 2000, menyetujui tiga dokumen tentang kebijakan liberalisasi sektor energi nasional.
Dokumen pertama adalah, Memorandum of Economic and Financial Policies atau leter of intens International Monetary Fund, Januari 2000.
Kedua, dokumen Indonesia Country Assistance Strategy, yang dikeluarkan World Bank tahun 2001. Ketiga, tertuang dalam dokumen USAID dengan judul Energy Sector Governance Strengthened.
"Ketiga dokumen itu, intinya adalah Indonesia diharuskan mengatur sektor energinya agar lebih efisien dan transparan. Caranya, pengurangan subsidi dan melibat sektor swasta serta asing dalam urusan hajat hidup orang banyak atau dengan kata lain privatisasi," tuturnya.
Ketiga dokumen itu, terus Rahmat, menjadi pedoman 10 tahun era pemerintahan SBY untuk mengeluarkan kebijakan pengurangan subsidi BBM. "Karena ketiga dokumen itu masih berlaku, maka era Jokowi-JK juga bakal memiliki kebijakan yang sama," imbuhnya.
Karenanya, Rahmat menuturkan masyarakat harus menolak kebijakan pencabutan subsidi BBM meski hal tersebut dilakukan pada rezim Jokowi-JK yang dianggap populis atau pro-rakyat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.