KPK: Pencabutan Hak Politik Bisa Jadi Rujukan Pengadilan
Kini MA menghukumnya dengan 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik. Jadi, Luthfi tak lagi berhak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai putusan Mahkamah Agung (MA) soal pencabutan hak politik dapat menjadi rujukan bagi pengadilan.
Hal ini diungkapkannya merespon putusan majelis hakim tingkat kasasi pada MA yang memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq.
Dalam vonis hakim tingkat pertama, Luthfi dihukum 16 tahun penjara tanpa pencabutan hak politik. Kini MA menghukumnya dengan 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik. Jadi, Luthfi tak lagi berhak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
"Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark dan rujukan bagi pengadilan," kata Bambang dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Selasa (16/9/2014).
Selain itu, kata Bambang, putusan mengenai pencabutan hak politik mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku privatisasi dan personalisasi kekuasaan oleh pejabat publik yang dilakukan secara melawan hukum dan transaksional.
PK, sambung Bambang, akan tetap menuntut pencabutan hak politik bagi terdakwa perkara dugaan korupsi. Dia mencontohkan hal itu dalam tuntutan kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
"Dalam tuntutan terhadap Anas, KPK juga mengajukan pencabutan hak politik," imbuh Bambang.