Ideologi Radikal Berkembang karena Arogansi Barat
Pembangunan ekonomi, modernisasi dan demokratisasi, harus dikelola sedemikian rupa untuk menghindarkan jebakan yang tidak diinginkan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara-negara Barat harus menyadari bahwa sebab utama tumbuhnya ideologi radikal yang berkembang pesat sekarang ini, salah satunya adalah karena arogansi Barat, yang terus berusaha melakukan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi secara masif di dunia Islam.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali pada acara peluncuran buku karyanya, ‘Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya’ di Jakarta, Jumat (26/9/2014) malam.
“Satu contohnya adalah membiarkan isu Palestina dan Isu Yerusalem (Al Aqhsa) tidak terselesaikan. Padahal di situlah ‘emosi’ umat Islam mudah terprovokasi untuk tumbuhnya radikalisme,” kata mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu.
Menurut As’ad, penting disadari bahwa gerakan jihad dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, tumbuhnya dan kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negeri mereka, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis.
Menghadapi situasi baru tersebut, para penyelenggara negara dan kaum intelektual di dunia Islam dituntut kecerdasannya. Di mana sistem politik di negeri-negeri muslim yang sekarang ini ada, yang dibangun di atas gagasan negara-bangsa, harus mampu merespon secara kreatif berbagai perkembangan baru yang muncul.
“Pembangunan ekonomi, modernisasi dan demokratisasi, harus dikelola sedemikian rupa untuk menghindarkan jebakan yang tidak diinginkan, yakni lahirnya gerakan jihadis,” ujarnya.
Dalam pengalaman negara-negara muslim, kata As’ad, kita ketahui masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab.
“Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama mazhab, mazhab maslahat, khususnya NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non-Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama,” katanya.
Bahkan, ujar As’ad, asas Pancasila merupakan sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.
Hadir dalam peluncuran buku tersebut mantan pengamat politik dan pengaji Timur Tengah Fachry Ali, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Buku yang terdiri dari 8 bab ini merupakan buah pengamatannya selama ini, termasuk pengalaman pribadi saat bertugas sebagai pejabat BIN di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990.