KPK Periksa 4 Saksi Terkait Kasus Bupati Tapteng
Empat saksi itu adalah Aswar Pasaribu, Syariful Alamsyah Pasaribu, Tembak Pasaribu, dan Hetbin Pasaribu.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil empat saksi terkait kasus dugaan korupsi penanganan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (30/9/2014).
Empat saksi itu adalah Aswar Pasaribu, Syariful Alamsyah Pasaribu, Tembak Pasaribu, dan Hetbin Pasaribu.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha mengatakan para saksi itu akan diperiksa untuk melengkapi berkas tersangka Bupati Tapanuli Tengah, Raja Bonaran Situmeang.
"Mereka diperiksa sebagai saksi untuk RBS (Raja Bonaran Situmeang)," kata Priharsa.
Dalam kasus ini, Bonaran disebut pernah memberikan uang Rp 2 miliar pada Akil lewat Bakhtiar Ahmad Sibarani. Hal itu diungkakan Hetbin Pasaribu saat bersaksi untuk terdakwa Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Bonaran telepon saya, saya disuruh temani ajudannya, Daniel Situmeang ke BNI Rawamangun ambil uang Rp1 miliar," kata Hetbin, Kamis 10 April 2014 lalu.
Hetbin mengatakan, uang tersebut langsung diantarkan ke Bakhtiar yang tengah berada di kawasan Depok, Jawa Barat.
Beberapa hari kemudian, Hetbin kembali diminta menemani Daniel mengambil uang Rp1 miliar dari Azwar Pasaribu. Uang itu juga langsung diserahkan kepada Bakhtiar.
Setelah Bakhtiar menerima dua kali pengiriman uang yang berjumlah Rp2 miliar. Hetbin mengaku kembali diperintahkan Bakhtiar untuk mentransfer uang tersebut ke rekening CV Ratu Samagat, perusahaan milik Ratu Rita, istri Akil Mochtar.
"Ditransfer dengan berita slip setoran 'angkutan batubara'," ujarnya.
KPK telah resmi menetapkan Bonaran Situmeang sebagai tersangka pada Rabu 20 Agustus 2014. Surat perintah penyidikan atas nama Bonaran telah ditandatangani oleh pimpinan KPK pada tanggal 19 Agustus 2014.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan dugaan suap di MK dengan terdakwa Akil Mochtar.
Atas perbuatannya Bonaran disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal ini mengatur mengenai suap-menyuap.