Penganut Baha'i Kosongkan Kolom Agama di KTP
Kenyataan yang tidak mengenakan masih harus diterima para penganut ajaran agama Baha'i di Indonesia.
Penulis: Abraham Utama
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Kenyataan yang tidak mengenakan masih harus diterima para penganut ajaran agama Baha'i di Indonesia.
Meskipun Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sudah menjelaskan eksistensi Baha'i kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mereka belum bisa mencantumkan Baha'i di kolom agama kartu tanda penduduk (KTP) mereka.
"Yang di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya biasanya ditulis tanda strip. Tapi masih banyak yang dipaksa memilih satu dari enam agama yang diakui," ujar Sheila Soraya, anggota Majelis Rohani Nasional di Jakarta, Selasa (11/11).
Baha'i bukanlah agama baru di Indonesia. Ajaran agama yang lahir di Iran pada abad ke-19 ini mendarat di Indonesia tahun 1885. Sheila menuturkan, penganut Baha'i di Indonesia tersebar di 28 provinsi.
Walaupun belum diakui negara, umat Baha'i tetap berkegiatan dan bersosialisasi seperti masyarakat lain. Di setiap provinsi mereka membentuk Majelis Rohani wilayah yang berinduk ke Majelis Rohani Nasional.
"Selama bertahun-tahun kami menjelaskan ke Kemenag, apa itu agama Baha'i," tutur Sheila.
Tanggal 24 juli 2014 silam, Lukman mengeluarkan surat balasan kepada Mendagri era Kabinet Indonesia Bersatu II, Gamawan Fauzi. Di situ Lukman berkata, hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) lembaganya menyatakan Baha'i adalah agama.
Baha'i tidak dikategorikan sebagai aliran dari suatu agama. Saat itu, pertanyaan Gamawan muncul untuk mencari dasar pelayanan administrasi kependudukan.
"Saya menyatakan bahwa Baha'i termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945. Berdasarkan UU 1/PNPS/1965, Baha'i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Lukman melalui akun Twitternya kala itu.
Namun Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag, Ahmad Mubarok, berkata lain. Ia berujar, pernyataan Lukman tersebut tidak dapat disebut sebagai pengakuan negara atas Baha'i.
Kata-kata Lukman itu juga tidak berarti menambah jumlah agama yang diakui negara menjadi tujuh.
"Di Indonesia tidak ada pengakuan agama. Kita belum memiliki aturan yang merinci indikator aliran atau kepercayaan dapat disebut sebagai agama," ucapnya.
Alhasil, karut-marut ini membuat nasib umat Baha'i belum terang. Diskriminasi negara pada mereka masih terus berlanjut.
Perkawinan dengan tata cara Baha'i tidak diakui Kantor Catatan Sipil. Konsekuensinya, anak-anak hasil perkawinan itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu mereka.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.