Perjuangan Pasien Peserta KJS, Ditolak Rumah Sakit Hingga Berujung Kematian
Bagi mereka para pasien peserta KJS, BPJS atau yang lainnya kenyamanan dan pelayanan yang baik di bidang kesehatan menjadi idaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menerima fasilitas bantuan dari pemerintah khususnya kesehatan semestinya menjadi idaman dan membuat nyaman rakyatnya, tetapi yang terjadi pada Nurhayati, pasien peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) justru sebaliknya. Ia harus rela melepas kepergian putra keduanya untuk selama-lamanya Abbiyasa Rizal Ahnaf (2) karena ditolak banyak rumah sakit di Jakarta dengan alasan klasik, kamar penuh, peralatan tidak lengkap juga lamban dalam memberikan rujukan.
Bagi mereka para pasien peserta KJS, BPJS atau yang lainnya kenyamanan dan pelayanan yang baik di bidang kesehatan menjadi idaman. Namun, usai banyak kasus muncul dan terakhir kasus balita Abbi, pemegang fasilitas kesehatan pemerintah tersebut justru harus menempuh perjuangan dan bahkan berujung kematian.
Kisah yang dialami Nurhayati bermula saat anaknya Abbi sakit diare pada pertengahan November lalu. Diare itu tidak kunjung sembuh meski sudah diberi obat sementara oleh sang nenek. Abbi justru sering muntah-muntah dan akhirnya kehabisan cairan.
Keluarga pun selanjutnya memutuskan untuk membawa Abbi ke rumah sakit, tepatnya RS Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di rumah sakit ini Nurhayati melapor bahwa dirinya peserta KJS. Usai itu rumah sakit pun berkilah kalau kamar kelas tiga, tempat perawatan peserta KJS penuh dan hanya tersisa kelas dua.
Dengan sangat terpaksa Nurhayati pun harus merogoh kocek lebih dalam demi sang anak. Ia dan suaminya pun memutuskan untuk merawat terlebih dahulu balita Abbi di kamar kelas dua dengan catatan jika kamar kelas tiga sudah kosong langsung dipindah.
"Di RS Pasar Rebo kita putuskan untuk dirawat di kelas dua dulu tapi dia minta DP Rp 2,6 juta karena kita pakai KJS, kita bayar separuh dulu ke bagian pendaftaran kasih Rp 800 ribu, dengan catatan kalau ada kamar kelas 3 kosong langsung pindah," ujar Nurhayati saat berbincang dengan Tribunnews.com, Sabtu(29/11/2014).
Ketika dirawat di RS Pasar Rebo, balita Abbi didiagnosa mengalami penyumbatan di saluran pencernaan. Hasil laboratorium pun menunjukkan leukositnya rendah dan harus segera dilakukan pembedahan untuk melihat apa sebenarnya yang menyumbat usus balita Abbi tersebut.
"Enggak sampai semalam di ruang perawatan jam 21.00 dapat kamar kelas 3, lalu anak saya hari Rabu diambil darah dan perutnya kembung, kurang cairan. Kata dokter ini harus rontgen setelah USG, setelah rontgen baru terdiagnosa penyumbatan di usus karena sapai saluran pipis takut kena ginjal maka dirujuk ke dokter urologi lalu dipasang alat bantu di saluran pipis," ujarnya.
Tidak sampai disitu derita wanita yang juga guru taman kanak-kanak ini. dokter di RS Pasar Rebo menyarankan untuk segera dilakukan operasi. Namun, terkendala masalah karena di rumah sakit tersebut peralatan tidak lengkap.
"Ruang picu dapat tapi satu masalahnya enggak punya ventilator ada tapi cuma satu dan dipakai. Dokter bilang enggak berani dibedah kalau tidak ada ventilator. Dokter pun merujuk ke RS Haji Pondok Gede, sementara anak saya masih di RS Pasar Rebo," kata Nurhayati.
Mendapatkan rujukan tersebut pergilah sang suami Nurhayati ke RS Haji Pondok Gede, namun disana ia lagi-lagi harus mendapatkan penolakan dari rumah sakit karena alasan kamar penuh. Suami Nurhayati tidak menyerah begitu saja, ia pergi ke RSCM dan RSPAD akan tetapi hasilnya sama saja. Dua rumah sakit itu menolak dengan dalih kamar penuh dan tidak memiliki fasilitas ruang picu.
Mendapatkan kabar tidak menyenangkan tersebut ayahanda dari balita Abbi lalu pergi ke RS Thamrin, Salemba. Di rumah sakit swasta ini mau menerima dan peralatan lengkap namun si pasien diwajibkan menyetor terlebih dahulu uang sebesar Rp 30 Juta.
Nurhayati dan suami pun pusing bukan kepalang. Mereka berdua lalu berusaha keras memutar otak. Sang suami mendadak memiliki ide untuk meminta donasi dan sumbangan melalui 'broadcast message' dan sosial media, lalu didapatlah dana sebesar 15 Juta.
"Suami ditanya punya dana berapa, bilang cuma punya uang Rp 5 juta. Lalu suami bilang minta waktu dan dikasih waktu dua hari untuk mengumpulkan uang Rp 30 Juta. Suami lalu bikin 'broadcast message'dan didapat donasi sebesar Rp 15 Juta. Langsung bilang ke rumah sakit bahwa kami hanya punya uang Rp 20 juta, kami bayarkan dulu nanti sisanya," ujar Nurhayati.
Saat hendak memindahkan anaknya dari RS Pasar Rebo ke RS Thamrin Salemba, tiba-tiba saja bagian BPJS Kesehatan di RS pasar Rebo mengabarkan bahwa balita Abbi akan diupayakan pindah ke RS Tarakan. "Saya bilang kapan, ini harus cepat, mereka bilang secepatnya, lalu keesokan harinya anak saya langsung dibawa ke RS Tarakan," ujarnya.
Di RS Tarakan dokter langsung membentuk tim dan segera melakukan operasi di saluran pencernaan Abbi. Sebelumnya para dokter meminta perjanjian dan kesediaan untuk melakukan pembedahan dengan segala risiko yang akan muncul nantinya pascaoperasi.
Kabar bahagia pun didapat oleh Nurhayati dan suaminya, balita Abbi selesai dioperasi dan sudah siuman. Abbi pun sudah bisa mengenali ayahnya, ibunya dan neneknya.
Selesai operasi Abbi langsung dibawa ke ruang picu dan tim dokter meminta segera lakukan transfusi darah karena Abbi banyak kehabisan darah usai operasi. Sampai disini kondisi Abbi masih baik.
Namun keesokan harinya sang ibu Nurhayati mulai melihat keanehan, Abbi tubuhnya terlihat lebih gemuk akan tetapi kondisinya tidak wajar. "Kata dokter kekurangan protein habis transfusi darah," ujar Nurhayati.
Tim dokter pun mendadak memanggil Nurhayati dan suami, mereka mengatakan bahwa kondisi balita Abbi tidak stabil. Nafasnya tersengal-sengal dan lambat. Lalu diputuskanlah oleh tim dokter untuk memasang alat bantu pernafasan, tapi tidak kunjung membaik bahkan detak jantung balita Abbi sempat hilang.
"Sempat berhenti jantungnya dipompa ditekan-tekan itu Jumat subuh sekitar pukul 05.00 WIB lalu jam 06.45 wib dokter memanggil saya dan mengabarkan bahwa anaknya sudah tiada," lirih Nurhayati.
Kendati demikian Nurhayati enggan berprasangka buruk terhadap tim dokter dan tidak akan melakukan langkah hukum sehubungand engan penanganan medis yang dilakukan. Ia dan suami ikhlas dan pasrah serta berharap kejadian yang ia alami tidak terulang kembali kepada pasien peserta KJS, BPJS atau yang lainnya.
"Kalau dari saya biar anakku tenang disana," ujar Nurhayati sembari terisak menahan tangis.