Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Akademisi: Media Jangan Tuna Etika 'Wawancara Paksa' Keluarga Korban

Algooth Putranto menilai peliputan hilangnya pesawat AirAsia dengan memaksa keluarga korban AirAsia untuk wawancara itu cermin media tuna etika

Editor: Gusti Sawabi
zoom-in Akademisi: Media Jangan Tuna Etika 'Wawancara Paksa' Keluarga Korban
SURYA/SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ
Keluarga penumpang pesawat AirAsia yang hilang kontak, menunggu kepastian nasib keluarga mereka di Crisis Center di Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo, Minggu (28/12/2014). Pesawat AirAsia dengan nomer penerbangan QZ 8501 berangkat dari Surabaya menuju Singapura pada pukul 05.20 WIB dengan membawa 155 penumpang hilang kontak berada di antara Tanjung Pandan (Pulau Belitung) dan Pontianak (Kalimantan Barat). SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ 

Tribunnews.com, Jakarta - Media diminta untuk tidak mewawancarai keluarga korban pesawat AirAsia QZ8501 yang terbang dari Surabaya-Singapura, Minggu (28/12/2014).

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Algooth Putranto menilai peliputan hilangnya pesawat AirAsia dengan memaksa keluarga korban AirAsia untuk wawancara itu cermin media tuna etika dan empati.

“Memaksa keluarga korban dalam kondisi duka untuk menjawab pertanyaan itu menunjukkan sang reporter tidak memiliki empati juga tidak peduli etika atau bisa jadi ada tekanan besar dari ruang redaksi. Ini memalukan dan kemunduran,” ujarnya Minggu (28/12/2014).

Menurut Algooth, peliputan televisi yang peka etika dan berempati sudah mengalami kemajuan dalam peliputan kecelakaan Sukhoi Superjet 100 (SSJ-100) di Gunung Salak dan Malaysia Airlines MH370. (baca juga: Jokowi: Kita Berdoa Untuk Keselamatan Penumpang dan Semua )

“Dalam dua peliputan tersebut, rekan-rekan jurnalis sangat menjunjung tinggi etika dan memberikan empati dalam melakukan peliputan. Kali ini, justru kemunduran karena reporter memaksa wawancara,” ujarnya.

Meski demikian, menurut Algooth hal ini tidak sepenuhnya kesalahan reporter di lapangan karena menjadi tugas media tempat reporter bekerja yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan reporter tersebut.

“Atau bisa jadi justru ruang redaksi media tempat reporter bekerja yang menuntut secara berlebihan berita eksklusif, sehingga mengakibatkan reporter terdorong melakukan peliputan dengan menafikan empati dan etika,” tuturnya.

Berita Rekomendasi

Pada sisi lain diakui atau tidak Dewan Pers, asosiasi jurnalis dan dunia pendidikan sejauh ini kurang mengampanyekan etik jurnalisme peliputan konflik maupun bencana. “Paling-paling hanya KPI yang mengingatkan hal-hal seperti ini.”

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas