Ini Persamaan dan Perbedaan Kecelakaan AirAsia dengan Garuda Tahun 2002
Patut diduga bahwa Pilot masih sadar ketika berusaha melakukan ditching.
Penulis: Hasanudin Aco
Oleh: Marsma TNI (Purn) Raman R. Saman
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan (Konsulen)
Dosen PPDS-KP (Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan), S-2 FKUI, Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Keputusan atau rekomendasi resmi tentang hasil investigasi kecelakaan pesawat terbang di Indonesia, merupakan Wewenang dari KNKT.
Namun sebagai Dosen dalam mata pelajaran "Investigasi Kecelakaan Pesawat Terbang" di Pasca Sarjana S-2 FKUI, Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan (PPDS-KP), saya justru mengajarkan: Cara membuat Analisa tentang Proses Terjadinya dan mencari Penyebab dari suatu kecelakaan pesawat terbang, untuk menentukan Langkah-langkah perbaikan agar Tidak terulang Musibah serupa dikemudian hari, dengan melibatkan: llmu Kedokteran Penerbangan, meliputi aspek Keselamatan Penerbangan (Flight Safety) dan Keamanan Penerbangan (Flight Security, yang melibatkan aspek Intelijen).
Hari ini, Selasa 6 Januari 2015 merupakan hari kesepuluh hilangnya pesawat terbang Air Bus 320-200, Air Asia Indonesia, Flight Number QZ-8501 dalam penerbangan dari Bandara Juanda Surabaya ke Changi Airport Singapura.
Telah dievakuasi 37 jenazah dari lokasi di perairan Selat Karimata ke Pangkalan Bun, lalu ke Surabaya untuk proses Identifikasi oleh Tim DVI.
Juga telah siap puluhan Penyelam TNI AL serta Rusia dan satu Robot "ROV"untuk mencari sisa 125 jenazah, sisa badan pesawat dan Kotak Hitam ("Black Box") yang amat diperlukan oleh KNKT guna proses Investigasi penyebab terjadinya musibah penerbangan ini. Karena umur Batere-sinyal hanya 30 hari, maka diharapkan Kotak Hitam (yang berwarna Jingga) dapat ditemukan sebelum tanggal 27 Januari 2015.
Bila tertunda, maka akan diperlukan upaya yang lebih rumit dan mahal, seperti dalam kecelakaan pesawat Adam Air di Selat Makasar dimana baru berhasil menemukan Kotak Hitam 8 bulan setelah kecelakaan.
Andaikata penemuan Kotak Hitam tertunda sekian bulan ataupun gagal, maka menjelang keluarnya Rekomendasi dari KNKT, diperlukan Kesimpulan Sementara dari Investigasi Peneyebab Kecelakaan QZ-8501:
Terdapat kemiripan dan juga perbedaan antara kecelakaan AirAsia A-320-200 tanggal 28 Desember 2014 dengan Garuda Boeing 737-300, tanggal 16 Januari 2002 yang ditching di Sungai Bengawan Solo.
Persamaannya :
a). Keduanya terjadi di ITCZ (Inter Tropic Convergence Zone ) dimana terdapat Hujan Lebat, Halilintar, Butiran/Gumpalan es, Guncangan/Turbulen Udara.
b). Ketinggian (Altitude) Terbang pada 32 ribu Kaki, temperatur minus 33 sampai 60 derajat Celcius dan Kecepatan Terbang 400 Knots (setara 700 KM/Jam) menghadapi Awan Cumulonimbus (CB) yang dahsyat.
c). Terjadi Icing ( Butiran / Gumpalan Es dan Udara sangat dingin masuk serta menyumbat ke dua Mesin Jet yang menyebabkan kegagalan pembakaran bahan bakar (Avtur), sehingga kedua mesin Mati. Kemudian Listrik juga padam, yang diikuti dengan kegagalan Pilot berkomunikasi untuk mengirim berita emerjensi "May Day", selanjutnya sistim Auto-Pilot juga mati sehingga Pilot Garuda terbang dengan Manual. Boeing 737-300 tidak dilengkapi sistim kemudi Fly By Wire.
Telah dilakukan Start Mesin Ulang ( Re-start) dengan cara menukik untuk menambah kecepatan pesawat Boeing guna memutar baling-baling-nya mesin turbin-jet, juga telah dicoba dengan cara menghidupkan Generator Cadangan (APU), namun kedua upaya tetap gagal dan mesin tetap mati.
Akibatnya, upaya De-Icing untuk mencairkan es juga gagal.
d). Speed pesawat menurun, namun Boeing Garuda tidak mengalami Stall ataupun Spin. Pilot Garuda pasrah disertai keajaiban Do'a (Miracle), telah berhasil melakukan Ditching (meng-air) di Sungai Bengawan Solo dengan korban hanya seorang Pramugari yang meninggal dunia. Ternyata QZ-8501 mengalami hal yang berbeda.
Perbedaannya :
a).Air Asia QZ-8501 A-320 tampak di Layar Radar: Ketika berada diujung Track penerbangan sebelum menghilang, telah melakukan gerakan belok kiri dua kali dan sekali belok kanan, lalu Ketinggian dan Kecepatan Terbangnya terus menurun (Majalah “Tempo”, 5-11 Januari 2015).
b). QZ-8501 dalam dua menit, antara pukul 06.16 (sa'at Pilot minta izin ATC untuk mendaki ke Ketinggian 38 ribu kaki) sampai dengan pukul 06.18 WIB (saat pesawat menghilang dari layar radar), telah mengalami peristiwa mendadak yang dahsyat, sehingga pesawat tak terkendali.
Terdapat beberapa kemungkinan seperti: Gumpalan es/halilintar masuk menembus kokpit sehingga terjadi Rapid De-compression (tekanan udara yang mendadak turun drastis) dalam Kokpit dan Kabin, dengan akibat Pilot dan semua Penumpang akan menderita Hipoxia (kekurangan Oksigen), amat sangat kedinginan lalu pingsan.
Atau, mengalami goncangan turbulen udara yang extrim berupa Updraft (terangkat keatas) dan Downdraft (anjlok jatuh beberapa meter) disertai kecepatan terbang yang terus berkurang sehingga masuk Stalling Speed, lalu mengalami jatuh seperti Batu (Stall), disusul masuk Spiral-Dive terbang berputar-putar kebawah (Spin) tanpa bisa keluar dari Spin karena sistim kemudi DFBW (Digital Fly By Wire) tidak berfungsi akibat perlistrikan mati.
Kemudian Pilot berusaha melakukan manuver Ditching, namun posisi hidung pesawat sudutnya terlalu tajam terhadap permukaan laut, sehingga upaya ditching gagal, lalu pesawat tercebur masuk Laut dan sebagian pecah berkeping-keping.
Patut diduga bahwa Pilot masih sadar ketika berusaha melakukan ditching.
c). Memperhatikan evakuasi jenazah yang tanpa pelampung dan berjumlah hanya 37, adanya puing-puing Pintu Darurat, Tangga Darurat, kursi, jendela penumpang tanpa adanya tanda-tanda jelaga akibat ledakkan atau kebakaran, menunjukkan bahwa peristiwanya berlangsung sangat singkat sehingga Pramugara, Pramugari dan penumpang tidak sempat memakai pelampung.
Ditemukannya Pintu Darurat dan Tangga Darurat yang terpisah dari badan pesawat, kemungkinan Awak Kabin telah siap menghadapi prosedur Ditching , namun Pilot gagal melakukan ditching. Diduga Pramugari telah membuka Pintu Darurat serta mengeluarkan Tangga Peluncur.