Tarik Duta Besarnya, Belanda Dinilai Cuma Gertak Sambal
"Narkoba beredar di sini. Mereka tidak tahu. Tarik saja. Belanda sudah jajah kita 350 tahun," kata Margarito.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua keduataan asing di Jakarta menarik duta besarnya karena keberatan atas eksekusi mati warganya yang terkait narkoba. Dua duta besar itu adalah Belanda dan Brasil.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum dan Tata Negara Margaritho Kamis menilai sekalipun dua dubes tersebut ditarik hal itu tak menjadi masalah.
"Narkoba beredar di sini. Mereka tidak tahu. Tarik saja. Belanda sudah jajah kita 350 tahun," kata Margarito kepada wartawan di kawasan Tebet, Jakarta, Minggu (18/1/2015).
Diketahui, seorang warga Brasil dan Belanda terdapat di antara enam terpidana kasus narkoba yang dieksekusi setelah permohonan grasi mereka ditolak Presiden Joko Widodo.
"Ini negara besar. Berdaulat dengan sepenuhnya. Jangan lagi jadi bangsa cecunguk. Lupakan Belanda itu. Tarik saja konsul-konsulnya. Nanti juga Belanda balik lagi, ini cuma gertak sambal," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Akibat eksekusi tersebut, pemerintah Brasil memanggil duta besarnya di Jakarta untuk konsultasi, dan menegaskan eksekusi mati itu akan mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara.
"Penggunaan hukuman mati, yang dikecam masyarakat internasional, memberi pengaruh buruk untuk hubungan kedua negara," demikian pernyataan kantor presiden Brasil, yang dikutip kantor berita resmi negeri itu.
Sementara itu, Belanda juga memanggil pulang duta besarnya di Jakarta dan mengecam keras eksekusi terhadap seorang warga negeri itu, Ang Kiem Soei.
"Hukuman mati adalah hukuman yang kejam dan tak manusiawi yang mengabaikan kehormatan dan integrias seorang manusia," kata Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, kuasa hukum Ang Kiem Soei lewat akun Twitter-nya mengatakan, Soei mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Belanda yang sudah berupaya untuk membatalkan eksekusinya.
Masih lewat Twitter, Soei mengatakan bahwa dia memutuskan untuk berdiri di depan regu tembak tanpa penutup mata.
Eksekusi hukuman mati untuk keenam terpidana ini adalah yang pertama dilakukan di Indonesia dalam lima tahun terakhir.
Presiden Joko Widodo mempertahankan keputusannya yang menolak permohonan grasi untuk para terpidana mati itu. Dia memilih untuk memegang undang-undang yang berlaku dan menyatakan tak ada ampun bagi para terpidana kasus narkotika.
"Hanya beberapa tahun lalu, Indonesia mengambil langkah positif meninggalkan hukuman mati. Namun, Pemerintah Indonesia saat ini mengubah posisi negeri itu ke arah yang berbeda," ujar Rupert Abbott, direktur riset masalah Asia Tenggara untuk Amnesti Internasional.