Jadi Undang-Undang, Perppu Pilkada Harus Direvisi
Pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sudah jelas arahnya.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang saat ini berlangsung di DPR sudah jelas arahnya.
Mayoritas fraksi akan menerima Perppu tersebut untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Sikap ini dinilai merupakan bentuk kesadaran bersama bahwa menerima Perppu jauh lebih baik daripada menolak Perppu yang bisa mendorong munculnya masalah-masalah baru yang lebih rumit.
"Namun tentu saja harus diakui bahwa penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang bukan berarti persoalan telah selesai," kata Yanuar Prihatin, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, dalam keterangannya diterima Tribunnews, Senin (19/1/2015).
Menurutnya, harus diingat kembali bahwa penyelenggaraan pilkada selama ini masih banyak kekurangan dan kelemahan pada berbagai aspeknya. Apakah Perppu nomor 1 tahun 2014 ini mampu mengatasi kekurangan dan kelemahan ini? Menurut Yanuar belum tentu.
Dijelaskannya, secara umum, substansi tertuang dalam Perppu ini sebenarnya belum menunjukkan karakter perubahan yang bersifat fundamental, strategis dan komprehensif. Justru, semangat perubahan yang muncul dalam Perppu ini lebih kuat pada aspek perbaikan teknis-prosedural.
"Sementara pertanyaan penting ini tidak terjawab tuntas oleh Perppu, apakah Perppu ini bisa menjamin munculnya calon kepala daerah yang terbaik dan memenuhi segala persyaratan yang ideal?" ujarnya.
Menurutnya, selama ini, fakta menunjukkan tidak sedikit kepala daerah yang akhirnya masuk bui karena terjerat perkara hukum. Artinya, kepala daerah terpilih ternyata bukanlah orang terbaik lantaran dia masih gampang tergoda berbuat tercela dan melanggar hukum.
"Kepala daerah yang baik dan ideal tentunya harus memiliki kontrol yang kuat di dalam dirinya, tidak mudah terjerat oleh rayuan harta dan penyelahgunaan kekuasaan," ujarnya.
Seharusnya, regulasi tentang pilkada mampu menjamin munculnya individu-individu yang berkarakter dan mumpuni dalam segala aspek kepribadiannya.
Dengan sudut pandang semacam itu, maka Perppu nomor 1 tahun 2014 meskipun nantinya ditetapkan menjadi undang-undang mutlak harus direvisi dalam tahap pembicaraan berikutnya.
Beberapa aspek penting yang memerlukan revisi atau perubahan mencakup hal-hal berikut, antara lain yakni soal persyaratan calon.
"Persyaratan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang berjalan selama ini terkesan lebih banyak berurusan dengan soal-soal administratif, terutama terkait dengan kelengkapan berkas atau dokumen yang dibutuhkan," kata Yanuar.
Sebab, lanjut dia, dalam kenyataannya, seringkali dokumen-dokumen ini tidaklah menggambarkan secara tepat tentang kualitas, kompetensi, integritas dan kepemimpinan individu calon.
Menurut Yanuar, ke depan perlu dikembangkan persyaratan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang mengacu kepada Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) yang memiliki indikator yang jelas, terukur, komprehensif, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
"Salah satu contoh tentang syarat 'bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa'. Syarat ini paling sering diabaikan bahkan dianggap tidak penting. Pencantuman syarat ini dalam sejumlah undang-undang terkesan hanya lips service, simbolik dan pemanis belaka, tak sungguhan mengoperasionalkannya dalam pengujian syarat calon," ujarnya.
Menurutnya, ini tidak pernah digali dan dikembangkan secara cermat, apa ukuran bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa itu? Lalu apa juga indikator yang menjadi alat ukur jelas untuk mengukur ketaqwaan seorang calon kepala daerah/wakil kepala daerah?
Kemudian siapa pula yang harus mengukurnya, jika menurut ukuran yang bisa dipertanggungjawabkan, seorang calon tidak memenuhi syarat ini lantas bagaimana nasibnya sebagai seorang calon, bisa diteruskan atau gugur?
"Hal ini penting untuk dipertimbangkan serius oleh semua pihak mengingat aspek religiusitas termasuk komponen sangat penting dalam kepribadian dan jiwa seseorang, apalagi bagi seorang pemimpin daerah," ujarnya.
Kedua, kata dia, soal uji publik. Menurutnya uji publik tetap diperlukan, namun hasil akhir dari uji publik haruslah jelas dan tegas. Harusnya, panitia uji publik tidak sekedar memberikan keterangan bahwa seorang calon kepala derah sudah mengikuti uji publik.
"Jika seperti ini formatnya, maka panitia uji publik sama saja dengan panitia seminar yang hanya mengeluarkan sertifikat untuk peserta tanpa pernah tahu apakah peserta itu lulus atau tidak," kata Yanuar.
Menurutnya, panitia uji publik harus diberi kewenangan untuk melakukan penilaian nyata atas individu calon menurut ukuran-ukuran yang jelas, terbuka, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, yuridis dan politis.
Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) bisa dijadikan acuan oleh Panitia Uji Publik untuk mengukur dan menilai individu calon. Meskipun penilaian ini bukan keputusan final atas nasib seorang calon, namun uji publik yang “berbobot” akan sangat membantu partai politik menentukan pilihan yang tepat atas seorang bakal calon yang hendak dimajukan sebagai calon definitif.
Kediga adalah soal Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD). Ini adalah kumpulan dari sejumlah kemampuan yang melekat pada diri seseorang sehingga dia layak disebut pemimpin.
"Pilkada secara langsung harus mampu menjamin munculnya pemimpin, bukan melegitimasi munculnya kaum oportunis, pekerja birokrasi dan pemburu harta," ujarnya.
Karena itu, kata Yanuar, diperlukan suatu ukuran atau parameter yang obyektif, valid, komprehensif, terukur dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, filosofis, yuridis dan politis untuk menilai kemampuan kepemimpinan seseorang.
"Ini persoalan serius karena soal masa depan pembangunan dan kemakmuran di daerah. Jangan menyederhanakan soal
kepemimpinan daerah hanya sekedar soal politik dukung-mendukung dan kemampuan financial seorang calon," ujarnya. (Edwin Firdaus)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.