Pers dan Gerakan Penyelamatan KPK
Di sini peran media massa menjadi sangat menentukan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Agus Sudibyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa penangkapan komisioner KPK, Bambang Widjojanto, oleh polisi pada Januari lalu melahirkan situasi baru dalam kehidupan pers Indonesia. Sebelum peristiwa ini, para pengamat masih berasumsi pers Indonesia terbelah jadi dua kelompok: mendukung pemerintahan Presiden Jokowi dan menentangnya. Namun, begitu kasus penangkapan Bambang Widjojanto meledak, pers menunjukkan kecenderungan sama: bersikap kritis terhadap Jokowi.
Mayoritas media mempertanyakan inkonsistensi Presiden dalam proses pergantian Kepala Polri dan independensi Presiden terhadap kelompok politik yang mendukung dirinya. Mayoritas media menuntut kesigapan Presiden dalam menyelamatkan KPK secara kelembagaan. Tanpa terkecuali, hal ini juga terjadi pada media-media yang sebelumnya dianggap bersimpati kepada Presiden Jokowi.
Sisi baik
Kasus kriminalisasi atas komisioner KPK seakan telah "mempersatukan" pers Indonesia. Dikotomi antara pers yang pro dan kontra terhadap pemerintahan Jokowi untuk sementara kurang relevan. Tiba-tiba saja Presiden Jokowi tidak lagi menempati posisi sebagai media darling karena begitu banyak pemberitaan bernada sumbang tentang dirinya.
Boleh dikata, kita sedang menyaksikan sisi baik dari kemerdekaan pers. Simpati dan pembelaan banyak media terhadap pencalonan Jokowi sebagai presiden tahun lalu tak jadi halangan bagi mereka bersikap kritis terhadap yang bersangkutan jika situasi politik memaksa demikian.
Dalam kasus kriminalisasi komisioner KPK, tak ada fanatisme buta terhadap seorang pemimpin. Yang ada adalah keberpihakan yang beralasan dan kritis. Maka, bisa saja seorang presiden yang telah lama menjadi media darling tiba-tiba menjadi sasaran sinisme pers karena dianggap mengecewakan masyarakat.
Tentu ini perkembangan yang menggembirakan. Suksesi kepemimpinan nasional tahun 2014 telah membuat citra pers nasional terpuruk. Pers secara umum dianggap bagian dari sumber masalah dalam pemilu. Banyak media secara terang-terangan memperagakan sikap partisan dan memosisikan sebagai bagian dari tim pemenangan pemilu. Media kehilangan karakter sebagai institusi sosial dan larut jadi sarana pengejaran kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam konteks inilah, kasus "Cicak vs Buaya" jilid kedua memberikan kesempatan bagi pers untuk merehabilitasi citra diri di hadapan khalayak. Yang dibutuhkan kemudian adalah konsistensi dan kontinuitas.
Keberpihakan pers terhadap KPK semakin berharga karena pengalaman menunjukkan, hanya pers dan masyarakat sipil yang memiliki militansi untuk menyelamatkan KPK. Kita dapat melihatnya sejak konflik "Cicak vs Buaya" jilid pertama tahun 2009. Saat itu, secara diametral KPK juga sedang berhadap-hadapan dengan Polri. Upaya KPK mengungkap "rekening gendut" para perwira Polri memicu reaksi perlawanan. Dua anggota KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dan sebulan kemudian ditahan.
Pers dan masyarakat sipil
Pemerintah terlihat gamang dalam bersikap. Pemerintah tampaknya juga gerah dengan sepak terjang KPK memidanakan para pejabat pemerintah dalam berbagai kasus korupsi. Istana Negara menunjukkan gelagat untuk setidak-tidaknya membiarkan pelemahan KPK. Di sisi lain, banyaknya anggota DPR yang menjadi sasaran penindakan KPK menimbulkan hambatan politis-psikologis bagi DPR untuk berempati pada nasib KPK.
Posisi KPK saat itu secara politik sangat terjepit. Praktis tinggal dua komisioner KPK yang bisa bekerja. Dalam situasi yang demikian, sangat jelas pembelaan terhadap KPK mulanya hanya datang dari komunitas pers dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil terus-menerus melakukan aksi solidaritas dalam berbagai bentuk. Media massa tanpa henti membangun opini publik yang menuntut pemerintah menghentikan upaya pelemahan KPK.
Kuatnya dukungan publik terhadap KPK kemudian memaksa Presiden SBY mengambil sikap. November 2009, SBY memerintahkan Kejaksaan Agung menyelesaikan kasus "Cicak vs Buaya" di luar pengadilan.
Situasi yang lebih kurang sama tercipta dalam kasus "Cicak vs Buaya" jilid kedua. Kesungguhan untuk menyelamatkan kelembagaan KPK sekali lagi hanya ditunjukkan komunitas pers dan masyarakat sipil. Partai politik dan para tokoh di belakang layar sama-sama melihat konflik KPK versus Polri dari sisi kepentingan partikular masing-masing. Tidak terlihat komitmen untuk mempertahankan KPK sebagai garda depan pemberantasan korupsi.
Bagi kekuatan-kekuatan politik tersebut, rekam jejak seorang calon Kepala Polri bukan hal yang perlu diperhatikan dan kriminalisasi terhadap komisioner KPK juga bukan urusan yang mesti diprihatinkan. Mereka baru akan menunjukkan pembelaan kepada KPK jika opini publik yang menuntut penyelamatan KPK semakin membesar dan menguat. Namun, jika opini publik itu ternyata tidak membesar, mereka tidak segan-segan justru mendukung skenario pelemahan KPK.
Di sini peran media massa menjadi sangat menentukan. Semua kekuatan politik akan selalu bertindak dengan menghitung opini publik yang terbentuk melalui media massa. Gerakan masyarakat sipil juga selalu membutuhkan media untuk melahirkan signifikansi tertentu.
Agus Sudibyo
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia