Pro dan Kontra Tes Keperawanan Bagi Siswa SMP dan SMA
"Pendidikan kok ngurus masalah keperawanan dan keperjakaan. Sekarang logikanya korelasinya apa?" tanya Chrisma.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana tes keperawanan bagi siswa SMP dan SMA ramai dibicarakan di media sosial selama sepekan terakhir setelah DPRD Jember, Jawa Timur mengusulkannya sebagai syarat kelulusan.
BBC Indonesia menerima lebih dari 600 komentar di laman Facebook dan mayoritas mengatakan tidak setuju dengan wacana tersebut. Sementara itu, sosiolog menyebut ide tes keperawanan tidak akan menyelesaikan masalah.
"Pendidikan kok ngurus masalah keperawanan dan keperjakaan. Sekarang logikanya korelasinya apa?" tanya Chrisma Desi Andriati melalui Facebook BBC Indonesia.
"Sudah bukan rahasia, mulai SMP dan SMA sudah banyak yang enggak perawan dan perjaka, tapi saya tidak setuju dengan opini DPRD di atas, lebih baik sering-sering melakukan penyuluhan tentang bahaya seks di usia dini," kata Akhmad Firmansyah. "Lebih baik mencegah dari pada mengungkap siapa yang tidak perawan atau perjaka."
Namun, sebagian orang ada juga yang mendukung. "Setuju, biar pada takut melakukan seks bebas. Biar terselamatkan generasi penerus bangsa," kata Yuni Lia.
"Simplifikasi"
Menurut sosiolog di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia upaya tersebut dinilai terlalu "menyederhanakan masalah yang kompleks".
"Riset yang kami lakukan di tiga kota, menunjukan hasil yang menarik bahwa posisi tawar perempuan dalam berpacaran itu lemah. Kalau tidak mau hubungan seperti itu ya putus aja, ngapain pacaran kalau cuma pegangan tangan?" kata Ida Ruwaida.
"Remaja SMP kelas I, tidak punya pacar jadi bahan cemooh lingkungannya. Artinya perilaku pacaran ini bagian dari gaya hidup remaja."
"Faktornya lebih kompleks, dan wacana itu tidak menyelesaikan masalah, malahan memberi kesan bahwa bahwa perempuan sumber masalahnya."
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ari Santoso mengatakan wacana tersebut sulit diimplementasikan karena konsep pendidikan di Indonesia berbasis ujian kompetensi.
"Yang diukur adalah kemampuan akademik," katanya kepada BBC Indonesia.
Ari mengatakan tidak adil dan tidak bijaksana untuk fokus "menghukum" siswa saja. Dia mengatakan harus ada upaya untuk mengkondisikan agar praktik seks di luar nikah bisa dihindari. "Ibaratnya kita ingin anak kita pintar, tetapi kita sebagai orang tua tidak pernah memberi contoh yang baik, tidak pernah mengajari."