Pengamat: Enam Kemungkinan Jika Jokowi Batal Lantik Komjen Budi Gunawan
Janji Presiden Jokowi menuntaskan kekisruhan antara KPK-Polri harus diapresiasi
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (PSPK UNPAD) Bandung, Muradi mengungkapkan, janji Presiden Jokowi untuk menuntaskan kekisruhan antara KPK-Polri karena polemik pemilihan Kapolri sepulang dari lawatan ke negeri tetangga di Asia Tenggara harus diapresiasi.
Namun wacana yang terlanjur berkembang di publik seolah-olah Presiden Jokowi tidak akan melantik Komjen Budi Gunawan dianggap telah mendahului apa yang menjadi kewenangan presiden.
Menurutnya, pilihan atas sejumlah opsi yang pernah disampaikan oleh Seskab, Andi Widjadjanto sesungguhnya bermuara pada dua pilihan saja, yakni dilantik atau batal dilantik.
"Gambaran ini mengilustrasikan bahwa perdebatan selama lebih dari satu bulan ini tetap tergantung dan membutuhkan ketegasan presiden dalam memilih. Sehingga diharapkan penyelesaian tersebut tidak berakumulasi dengan kemungkinan munculnya masalah baru," katanya, Selasa (10/2/2015).
Berkaca pada hal tersebut, ia menjelaskan, ada lima kemungkinan apabila Presiden tidak jadi melantik Komjen Budi Gunawan (BG). Pertama, hubungan antara presiden dengan partai politik pengusung akan makin memburuk.
Harapan dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) agar presiden tetap digaris konstitusi dengan tetap melantik BG tidak diakomodir oleh presiden. Muara dari memburuknya hubungan ini, menurutnya, bisa saja berimplikasi pada penarikan dukungan atas pemerintahan saat ini.
"Kedua, selain dengan elit politik KIH, hubungan presiden juga akan makin memburuk dengan Megawati Soekarnoputri. Sejumlah kekecewaan putri Bung Karno tersebut makin terakumulasi dengan dengan tidak dilantiknya BG sebagai Kapolri," ujarnya.
"Megawati akan menganggap Jokowi sebagai figur yang tidak taat konstitusi dan keluar dari esensi dan tujuan bernegara yang mana selama ini partai usung. Karakteristik dan warna politik pemerintahan akan makin jauh dari ideologi PDI Perjuangan," katanya lagi.
Terberat dari hubungan yang memburuk antara keduanya adalah, imbuhnya, kemungkinan Jokowi mengambil jalan sendiri dan berbeda dengan garis partai. Yang bisa saja membuat partai politik sendiri atau memilih bergabung dengan KMP sebagaimana wacana yang berkembang.
Ketiga, turunan dari langkah tersebut mengarah pada penarikan sejumlah menteri dari KIH karena dukungan politik atas pemerintahan Jokowi telah dicabut. Hal ini mengarah pada perubahan politik yang bisa saja berimplikasi dengan memburuknya konstelasi politik yang berkembang.
"Ada perubahan besar di mana langkah ini akan membuat proses politik yang terjadi menjadi tidak mudah. Keempat, DPR meradang. Hal ini disebabkan karena proses yang selama ini berlangsung tidak dijalankan oleh presiden," ungkapnya.
Bisa saja, Muradi yakin, DPR kemudian juga terbelah. KMP justru menyokong langkah presiden, namun hal ini mengisyaratkan bahwa tatanan dan etika politik sbagaimana yang diyakini dan ditegaskan dalam konstitusi porak-poranda karena dinamika opini politik yang seolah mengendalikan kebijakan politik.
Ujung-ujungnya masalah ini bisa bermuara pada keinginan DPR menggunakan sejumlah hak yang melekat yang bisa membuat suasana politik makin sulit terkendali.
Kelima, kemungkinan terjadinya demoralisasi di internal Polri karena pembatalan pelantikan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa sejak Pilpres, internal Polri terbelah oleh kepentingan politik.
Sehingga apabila terjadi pembatalan maka akan membuat internal polri gaduh dan tidak dalam posisi yang stabil. Jelas ini akan berpengaruh pada jalannya roda pemerintahan.
"Keenam, karena dinamika politik yang tidak stabil, maka jalannya pemerintahan tidak dalam posisi yang baik. Sejumlah program yang terkait dengan Namacita dan Trisakti dijalankan seadanya dan tidak fokus pada apa yang menjadi karakteristik politik pemerintahan saat ini," Muradi menegaskan.
"Ujung-ujungnya, publik merasa bahwa efektifitas pemerintahan saat ini tidak bisa menjalankan amanat rakyat," Muradi menambahkan.
Ia menegaskan kemabali, keenam konsekuensi tersebut akan menjadi bagian masalah baru apabila Presiden tidak secara jeli melihat dinamika politik tersebut.