Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Deparpolisasi Pemerintah

Perjalanan demokrasi semenjak Era Reformasi ini telah berjalan hampir 16 tahun.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Deparpolisasi Pemerintah
KOMPAS
Ilustrasi 

Sayangnya, seperti dikatakan di depan, pemerintahan demokrasi yang sudah ditata kebijakan perundangannya itu luput tidak menata hubungan antara jabatan-jabatan negara dan jabatan politik yang berasal dari pejabat parpol. Dengan adanya UU No 2/1999 tentang partai politik, di awal Reformasi itu bermunculan kehidupan parpol sampai sekarang. Di dalam literatur ilmu politik disebutkan bahwa partai politik merupakan suatu organisasi sosial yang distinctive, yang tujuan utamanya adalah menempatkan calon-calon pemimpinnya pada jabatan pemerintahan seperti presiden, para menteri, gubernur, bupati dan wali kota. Syarat minimal dari suatu parpol dilihat dari aspek peranan politiknya adalah merancang calon-calon pejabat dari partainya untuk menduduki jabatan di dalam pemerintahan, dan mendulang suara yang mendukungnya (Encyclopedia Americana, 1995).

Dari perspektif ini, kehadiran pejabat politik di dalam tatanan administrasi pemerintahan tidak bisa dihindari. Bahkan, menurut Guy Peters dan Jon Pierre editor dari buku hasil penelitiannya akhir 1999 Politicization of the Civil Service menyatakan bahwa beberapa dasawarsa terakhir ini sektor pemerintahan telah menjadi arena yang dikuasai politisi (politicized). Hal ini berarti bahwa para pejabat dan pegawai pemerintahan harus memberikan perhatian yang lebih besar sebagai pelayan-pelayan politik kepada jabatan-jabatan politik yang memimpinnya. Hubungan keduanya bukan hanya sekadar hubungan kekuasaan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, melainkan hubungan yang bureucratic sublation (Carino,1996), yakni hubungan yang mencerminkan kesejajaran dengan pejabat politik co-equality with executive.

Selain jabatan politik, di dalam birokrasi pemerintahan kita dikenal juga jabatan negara. Jabatan negara ini mulai dikenal sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Beliau tidak menyukai politik oleh karena itu kekuatan politik yang mendukung pemerintahannya tidak disebut partai politik melainkan disebutnya sebagai Golongan Karya. Jabatan negara ini baik sekali dijadikan pengganti jabatan politik, artinya semua jabatan politik yang berasal dari kekuatan politik yang memimpin birokrasi pemerintah-mulai dari presiden dan wakil presiden, hingga para menteri, gubernur, bupati dan wali kota-disebut pejabat negara.

Pejabat negara ini adalah pejabat yang menjalankan tugas-tugas negara untuk seluruh rakyat tanpa tersekat oleh rakyat yang berada di kelompok parpol tertentu. Kaitan dengan aspirasi kekuasaan dari parpol tertentu mulai menipis. Akan tetapi, aspirasi bangsa dan seluruh rakyat negara mulai menebal. Di dalam ilmu politik pun dikenal semboyan ketika loyalitas negara dan pemerintah memanggil, loyalitas ke partai politik mulai dikurangi. Barangkali semboyan ini tidak termasuk dan dapat digolongkan ke dalam pemahaman deparpolisasi pemerintah.

Rangkap jabatan

Rangkap jabatan antara jabatan pimpinan parpol dan pejabat negara (pejabat politik) telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun- etika, manajemen, sosial, politik, ekonomi, apalagi tuntunan agama-adalah kurang patut. Selain kurang patut dan tidak etis, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau berkecamuknya konflik kepentingan, seperti layaknya bercampurnya perkara yang hak dan yang batil.

Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindarkan oleh pejabat tersebut, baik besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika pejabat tersebut melakukan tugas aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas partainya. Seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa dan sore harinya membuka rapat kerja partainya, bisakah menteri tersebut membedakan tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan yang dibiayai negara dan yang dibiayai partainya?

BERITA TERKAIT

Belum lagi kalau pejabat negara itu adalah presiden atau kepala negara yang merangkap sebagai ketua umum parpol, yang sedang kampanye untuk partainya. Itu baru menyangkut tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau biayanya besar, menggunakan pesawat yang disewa negara, dijaga keamanannya oleh pengawal kepresidenan, diiringi para ajudan presiden, menggunakan hotel yang dibiayai negara dan fasilitasnya besar. Bukankah ini saluran penyimpangan yang seharusnya disadari oleh pribadi pejabat negara tersebut?

Sistem dari suatu perbuatan yang tidak etis ini seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah semenjak masa Reformasi ini karena gejala ini sudah lama benar berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita semenjak Orde Lama, Orde Baru, dan yang sekarang ini. Kalau ini dilakukan, itu bukan deparpolisasi di dalam birokrasi pemerintah, melainkan menata lebih baik suatu sistem pemerintahan yang lebih baik dan jujur.

Miftah Thoha
Guru Besar Magister Administrasi Publik UGM dan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI).

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Kamis (16/4/2015).

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas