Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tahun Penuh Marabahaya

Jokowi beberapa kali mengirim pesan yang tidak senada dengan harapan publik.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Tahun Penuh Marabahaya
KOMPAS/JITET
Ilustrasi 

Oleh: Suwidi Tono

TRIBUNNEWS.COM - Hari-hari ini, enam bulan sudah Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden.

Belum tampak lompatan visi dan tindakan menggetarkan. Kekisruhan dan kedaruratan situasi hukum-politik-ekonomi mengemuka di tengah kinerja sebagian kabinet dan pembantunya yang gagap dan defensif.

Masih segar dalam ingatan, Jokowi diantar ke gerbang Istana Merdeka, 20 Oktober 2014, dengan kereta kencana. Harapan rakyat membubung tinggi yang mewarnai seluruh prosesi massal pelantikannya, kini diterali kesabaran terpendam. Dengan harap-harap cemas, kita belum mendapat sinyal melegakan sebagai tonggak menatap hari depan.

Jokowi beberapa kali mengirim pesan yang tidak senada dengan harapan publik. Pada kasus konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Polri, ekses ucapan dan tindakan yang diambil cenderung membiarkan pelemahan KPK secara sistematis.

Tingkat kegawatan yang ditimbulkan tidak pernah terjadi pada era sebelumnya. Pada polemik kasus uang muka mobil pejabat, efek viral: "I don't read what i sign" mengundang keraguan tentang determinasi kepemimpinannya.

Genealogi Jokowi

BERITA REKOMENDASI

Dari analisis "genealogi", gaya kepemimpinan Jokowi dapat diterangkan secara linier.Pertama, ia cenderung menghindari konfrontasi. Baik di Solo maupun Jakarta, ia tidak menyukai konflik atau kekerasan sebagai solusi.

Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan Pemilihan Presiden 2014, ia kerap menceritakan kisah sukses memindahkan pedagang kaki lima dari kawasan kumuh Taman Banjarsari ke Pasar Klitikan, Solo, lewat 56 kalipertemuan dengan semua pemangku kepentingan, memakan waktu tahunan, tanpa menggunakan "pentungan" dinas ketertiban. Ia punya kesabaran mendengarkan sebelum bertindak.

Kedua, ia membuktikan bukan boneka partai. Baik di Solo maupun Jakarta, alokasi posisi strategis (termasuk kabinet) dari partai utama pendukungnya minimal. Namun, di sini ada perbedaan mendasar pemilihan tim inti.

Jika untuk jabatan wali kota dan gubernur ia meminta bantuan konsultan untuk melelang jabatan-jabatan strategis, sebaliknya di lembaga kepresidenan ia lebih banyak disodori dan menyaring nama-nama dari banyak pihak, terutama dari partai pengusungnya.

Ketiga, sebagai pemimpin yang cepat meroket dan lebih banyak mendapat dukungan massa luar partai dan relawan, Jokowi tidak memiliki cukup persiapan untuk meneguhkan dukungan terutama dari kekuatan ekonomi, politik, militer, intelektual, dan aliansi strategis lainnya.


Tim lingkar pertama istana kepresidenan merupakan pribadi-pribadi yang berada dalam "radar"-nya, telah bersentuhan dan terlibat sekurang-kurangnya sejak kampanye pilpres.Dari sisi ini, ia tak banyak mempunyai kesempatan dan pilihan melongok tokoh-tokoh otentik di "luar pagar".

Resultan dari ketiga karakteristik Jokowi ini berguna untuk memahami dan memberikan penilaian sementara terkait dengan responsnya pada masalah-masalah serius yang membutuhkan penanganan segera. Terdapat perbedaan antara otentisitas dan cakupan tantangan. Ada ketidaksejajaran dalam mengelola rentang kendali persoalan.

Halaman
12
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas