Praperadilan dan Permasalahannya
Dalam sistem peradilan pidana, hubungan hukum dengan hakim memiliki irama searah.
Editor: Hasanudin Aco
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kedua lembaga ini (pre trial dan praperadilan) memiliki kesamaan, yaitu hakim sama-sama berperan aktif pada proses sebelum persidangan (materi/pokok) perkaranya, sedangkan perbedaannya terletak pada wewenang hakim yang melekat dari lembaga tersebut.
Pada pre trial, hakim mempunyai kewenangan tidak saja sebagai examinating judge, tetapi juga mencakup wewenang investigating judge. Sementara pada hakim praperadilan hanya memiliki wewenang terbatas pada examinating judge dan itu pun tidak terhadap wewenang pengujian seluruh upaya paksa yang dilaknsanakan oleh penyidik, khususnya tidak melakukan pengujian terhadap alat bukti, bahkan keabsahan alat bukti yang dikaitkan dengan sangkaan atas unsur-unsur delik.
Penegak hukum, bukan KPK saja, tetapi juga Polri dan Kejaksaan, harus mempersiapkan arus praperadilan dengan wajah baru berdua sisi ini, yaitu sebagai alas hak perlindungan dan penghargaan hak asasi tersangka, tetapi di sisi lain juga dapat memberikan risiko besar atas pemberatasan kejahatan (korupsi).
Pertama, Pasal 9 ICCPR sama sekali tak memberikan suatu tindakan bahwa bukti permulaan yang cukup, dengan dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka adalah imperatif ditunjukkan di hadapan hakim pra peradilan, apalagi apabila dua alat bukti ini dikaitkan dengan unsur-unsur delik.
Kedua, kewajiban menunjukkan dua alat bukti di hadapan sidang hakim praperadilan merupakan suatu "reversal of evidence processing", yang tegas dan jelas bertentangan dengan prosesual pidana yang hanya bisa dilakukan pengujian maupun penyidikan alat bukti di hadapan hakim pada pemeriksaan perkara pokok/materi.
Ketiga, kewajiban menunjukkan dua alat bukti di hadapan hakim praperadilan justru riskan dan membahayakan penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi sehingga membuka peluang besar pihak terkait (tersangka/saksi) untuk menyamarkan alat bukti, baik dengan cara menghilangkan, mengaburkan, maupun merusak alat bukti.
Keempat, dalam proses pra-ajudikasi (penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan), pengujian dua alat bukti di hadapan hakim praperadilan bertentangan dengan dasar dan filosofi tertutup dan bersifat rahasia. Menentukan "bukti permulaan yang cukup" (dua alat bukti) merupakan diskresi penuh penyidik, dengan filosofi tertutup dan rahasia adalah sebagai alasan adanya niat buruk pihak terkait untuk menyamarkan alat bukti. Karena itu, pengujian alat bukti secara terbuka menjadi otoritas penuh dari hakim bagi pemeriksaan pokok/materi (Pasal 184 KUHAP), bukan wewenang hakim praperadilan.
Akhirnya, perbuatan yang menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat signifikan, dalam kasus per kasus, tidak seharusnya diabaikan dengan alasan prosesual keabsahan tidaknya dua alat bukti yang bahkan bukan domain hakim praperadilan. Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut (halaman 106) menegaskan bahwa perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar!
Indriyanto Seno Adji
Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juni 2015 dengan judul "Praperadilan dan Permasalahannya".