Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Delapan Hakim MK Masih Pro Perkawinan Anak di Indonesia

Saat ini satu-satunya jalan untuk mengubah batas usia perkawinan adalah dengan melakukan revisi UU perkawinan

Penulis: Yulis Sulistyawan
zoom-in Delapan Hakim MK Masih Pro Perkawinan Anak di Indonesia
Warta Kota/henry lopulalan
Petugas MK mengecek segala perlengkapan sidang diruang sidang utama di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2014). MK memulai persidangan perdana sengketa Pilpres 2014 akan dilaksanakan pada Rabu (6/8/2014). (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi 18+ kecewa atas keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan mengenai batas usia bagi anak perempuan dalam UU perkawinan yang dilakukan pada Kamis(18/6/2015) kemarin di sidang terbuka Mahkamah Konstitusi.

"Koalisi 18+ yang melakukan advokasi dalam menolak perkawinan anak di Indonesia, sangat kecewa dan prihatin dengan hasil keputusan MK tersebut. Tidak saja kecewa dengan hasilnya namun sangat kecewa pula dengan pertimbangannya yang dianggap kurang berkualitas dan terkesan mengizinkan situasi perkawinan anak di Indonesia. Pertimbangan MK tersebut sepertinya mengabaikan seluruh bukti-bukti yang diberikan oleh seluruh pemohon, saksi, ahli dan para pihak terkait tentang masalah keberadaan pasal 7 ayat (1) dan (2) dalam UU perkawinan," ujar Koordinator Koalisi 18+, Supriyadi Widodo Eddyono dalam pernyataannya, Jumat(19/6/2015).

Perkara tersebut diajukan oleh organisasi dan individu yang merasa hak konstitusi mereka terlanggar karena UU Perkawinan masih mencantumkannya batas perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun, padahal usia 16 tahun masih masuk dalam kategori anak.

Selain itu, pemohon juga mempersoalkan mengenai lemahnya pemberian izin dispensasi bagi pernikahan anak perempuan yang akan menikah dibawah usia 16 tahun.

Para pemohon menganggap Pasal 7 ayat (1) dan yata (2) telah melegitimasi praktek perkawinan anak di Indonesia.

Dua Pengujian yakni Perkara No 30/PUU/V/2014 oleh Yayasan Kesehatan Perempuan yang menguji Pasal 7 (1) UU perkawinan dan Perkara No 74/PUU-XII/2014 oleh Koalisi 18+ (beberapa individu dan organisasi) yang menguji Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.

Atas putusan tersebut, lanjut Supriyadi pertimbangan menunjukkan posisi MK sebagai penjaga moral bukan penjaga Konstitusi.

Berita Rekomendasi

MK mengabaikan fakta-fakta mengenai perkawinan anak bahwa sebagian besar perkawinan anak dilakukan karena masih terbuka peluang besar dalam UU yang mengizinkan anak untuk kawin.

Disamping itu seluruh UU terkait anak telah memberikan batasan yang jelas mengenai usia anak. Mengutip dissenting opinion dari Hakim Maria Farida Indrati.

“Terlihat jelas batasan usia wanita menikah dalam UU perkawinan sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan ini menurutnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak Indonesia. Selain itu, MK juga jelas – jelas mengabaikan prinsip persetujuan penuh dan bebas antar pasangan yang akan mengikatkan diri dalam perkawinan, karena prinsip persetujuan bebas dan penuh ini hanya dapat dicapai apabila kedua belah pihak telah mencapai batas usia dewasa," ujar Supriyadi.

Pertimbangan MK juga tidak konsisten, dalam putusan sebelumnya, Putusan No I/PUU-VIII/2010, MK justru dan pernah menerima 'judicial review' terhadap Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan telah mengubah batas bawah usia anak bisa dikenakan pidana, dari semula delapan tahun menjadi 12 tahun.

Mahkamah menilai perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia maksimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.

Menurut MK, semua masalah terkait akibat perkawinan anak (kesehatan, pendidikan, perceraian, beban sosial dll) , tidak menjamin dapat diselesaikan dengan di tingkatkannya batas minimum usia perkawinan anak perempuan. Masalah-masalah kongrit terkait perkawinan anak tidak murni disebabkan aspek usia semata.

Keempat, mengenai ketentuan pasal 7 ayat (2) mengenai dispendasi perkawinan, MK berpendapat bahwa “frase penyimpangan” masih dibutuhkan untuk sebagai “pintu darurat “apabila terdapat hal-hal memaksa atas orang tua untuk kawin.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas