Irmanputra Sidin: Ipar 'Seteru Politik' Petahana di Pilkada
Irmanputra Sidin mengatakan yang pasti, justru ipar, adalah “seteru politik” dengan petahana dalam salah satu pilkada
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang menyangkut komplein konstitusional atas produk kekuasaan DPR RI berupa penjelasan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada menyangkut larangan ipar dari petahana untuk ikut menjadi calon kepala daerah.
Pakar Hukum Andi Irmanputra Sidin, yang telah membentuk Sidin Constitution R &C, menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (1/7/2015).
Mereka bersidang sebagai kuasa hukum seorang warga Negara Indonesia, bernama A. Irwan Hamid, dengan nomor perkara 79/PUU-XIII/2015.
Menurut Irman, ketentuan ini dibentuk tanpa konsep, dan rasionalitas konstitusi namun berbasis emosional.
Dasar apa produk kekuasaan DPR ini membatasi seluruh warga negara berstatus ipar petahana tidak dapat menjadi calon kepala daerah, dengan memvonis bahwa pasti terjadi konflik kepentingan, terjadi penyalahgunaaan kewenangan petahana untuk menguntungkan sang ipar.
"Ipar hanyalah ikatan kekerabatan yang timbul akibat ikatan perkawinan yang dilakukan oleh saudara kandung seseorang yang kebetulan adalah/atau menjadi petahana," katanya.
Menurutnya, ikatan perkawinan ini tidak bisa dilarang, dicegah apalagi diputus oleh ipar tersebut karena merupakan hak konstitusional saudara kandungnya untuk melakukan ikatan perkawinan dengan siapapun hanya karena sang ipar bercita-cita menjadi calon kepala daerah.
“Yang pasti bahwa ikatan organisasi, seperti parpol yang sama dengan petahana lebih cenderung konflik kepentingan. Besar kemungkinan terdapat instruksi organisatoris parpol kepada seluruh kadernya untuk memenangkan calon yang notabene satu ikatan parpol dengan petahana,” kata Irman.
Irmanputra Sidin mengatakan yang pasti, justru ipar, adalah “seteru politik” dengan petahana dalam salah satu pilkada di Indonesia yang telah berlangsung selama ini. Oleh karenanya tidak boleh atas nama wakil rakyat sekalipun produknya bisa melanggar konstitusi.
“Melalui MK kami menguji apakah UU ini memiliki “kuda-kuda” konstitusional yang kuat atau tidak, karena jangan sampai legislasi sudah menjadi medium vonis hukuman terhadap seseorang yang tak mengerti apa-apa hanya karena kebetulan adalah ipar dari seorang petahana,” katanya.