Efektivitas Perombakan Kabinet
Orang meraba dan menebak apa dan di mana kira-kira sumber penyebabnya.
Editor: Hasanudin Aco
Sekiranya sedikit jujur, jangan-jangan hingga akhir 2014 tidak banyak rakyat Indonesia, bahkan di kalangan pemilih (waktu itu calon) Presiden Jokowi sekalipun, yang tahu persis apa Nawacita itu. Lagi-lagi, dan jangan-jangan, belum adanya pemahaman tentang hal-hal itu pula yang menghinggap di kalangan para pembantu sewaktu mereka dipilih.
Sementara janji-janji yang akan menjadi tujuan dan sasaran kerja belum terkonsolidasi (dalam anggapan umum mestinya selesai terlebih dahulu), yang tampak memakan waktu dan menguras energi justru pembentukan organisasi kabinet (yang akhirnya sekadar menggunakan format kabinet masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), serta "perundingan" tentang jatah/alokasi portofolio di antara partai politik pendukung.
Jargon orang yang tepat di tempat yang tepat akhirnya bagai tercecer dalam proses tersebut. Berkembang dugaan bahwa anggota kabinet banyak yang ketika dipilih tidak mengenali esensi janji-janji Presiden dan gamang dengan bidang tugas serta sisi-sisi manajemen kebijakan pemerintahan yang akan dipikulnya.
Konsolidasi janji dan program
Dibantah atau dijelaskan dengan cara bagaimanapun, postur dan potret kabinet kemudian menjadi bulan-bulanan kritik. Persoalan kapasitas menjadi sasaran olok-olok. Dengan berbagai persoalan yang masih tetap menghinggap hingga akhir bulan kedelapan usia kabinet sekarang ini, desakan penataan ulang kian deras terdengar dari banyak penjuru. Pertanyaannya, yang mana yang mesti ditata ulang dan bagaimana efektivitasnya?
Namun, tanpa kembali ke khitah sebuah kerja, perombakan kabinet juga belum tentu efektif apalagi menyelesaikan masalah. Konsolidasi dan perumusan ulang segenap janji, tujuan, sasaran (tidak menjadi masalah bila saat ini atau nantinya akan merupakan elaborasi RPJM sebagai program-program tahunan) sungguh perlu dilakukan. Di samping contoh janji-janji yang tadi disebut, dalam kosakata politik kontemporer orang tetap bertanya, bagaimana arah pemberantasan korupsi yang sebenarnya ingin dituju?
Dalam kaitan pemberantasan korupsi dengan penegakan hukum dan reformasi birokrasi, bagaimana praktik pungli yang tetap merajalela dalam perekrutan anggota Polri/ TNI, pengangkatan guru/bidan dan pegawai negeri di daerah, akan diatasi? Bukankah pernah ada pemikiran, bagai makan bubur, menyelesaikan masalah juga harus mulai dari pinggir?
Persoalan konsolidasi janji dan program ini memang layak dipertimbangkan. Salah satu sebabnya karena hanya dengan kemampuan memberikan gambaran tentang tujuan, sasaran, dan program yang tepat, sesederhana apa pun, akan membuat rakyat tahu tentang apa dan ke mana mereka akan dibawa. Kejelasan arah dan langkah ini betapapun akan sangat membantu proses pemulihan harapan tentang masa depan.
Ditambah dengan ketepatan pemilihan dan penempatan para pembantu yang pas, baik untuk kabinet maupun kantor staf beliau, semuanya akan memulihkan kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Presiden dan tata kelola pemerintahannya. Dalam keadaan yang bagaimanapun berat dan sulitnya (banyak yang mengatakan mengkhawatirkan, meski tidak perlu lantas panik), tetapi ketika rakyat masih mampu melihat kembali harapan dan pulihnya kepercayaan, mereka akan mendukung dan hal itu merupakan modal yang luar biasa besar artinya bagi kepemimpinan presiden.
Dalam konteks dan momentum pulihnya kembali harapan dan kepercayaan itu pula soal perombakan kabinet seyogianya ditimbang. Perombakan kabinetmungkin hanya efektif jika hal itu mampu memulihkan harapan dan kepercayaan rakyat. Namun, harapan dan kepercayaan mungkin juga hanya akan muncul kalau rakyat melihat dua hal bersamaan. Pertama, ada program yang sederhana, jelas sesuai janji-janji selama pilpres, dan dinilai akan dapat dilaksanakan. Kedua, didukung orang/figur dengan kapasitas sesuai dengan bidang yang harus diembannya.
Reshuffle atau penataan ulang ataukah perombakan atau penyisipan, jelas urusan dan kewenangan presiden. Seratus hari pertama sudah lama berlalu. Ancar-ancar tenggang enam bulan, kalaupun dulu ada, juga telah lewat. Idul Fitri-kah, HUT Kemerdekaan, hari raya Idul Adha, atau bahkan menunggu setelah lewat usia satu tahun, semuanya juga terpulang pada beliau semata.
Tidak perlu beliau didorong-dorong, disindir-sindir, apalagi kalau semua ujung-ujungnya ada pamrihnya. Lebih baik disampaikan saja dukungan dengan pesan mudah-mudahan pemilihan orang, kapasitas dan penempatannya, dapat berlangsung lugas dan berorientasi fungsi, tujuan dan sasaran tadi. Sudah barang tentu sama sekali tidak mudah bagi Presiden menjelaskan hal itu dan pada saat yang sama harus menenggang rasa dengan partai pendukung beliau.
Mungkinkah hal itu dilakukan Presiden? Beliau pasti mampu. Apalagi kalau diingat bahwa keberhasilan beliau nantinya juga berarti keberhasilan partai pendukungnya, mestinya semua itu mungkin saja bukan? Selebihnya, memang terpulang kepada Presiden Jokowi.
Bambang Kesowo
Pengajar Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juli 2015 dengan judul "Efektivitas Perombakan Kabinet".